Friday, February 27, 2009

Proteksionisme Baru AS?

Oleh: Samsul Hadi

Meskipun mendapat tantangan yang keras dari partner-partner perdagangan Amerika Serikat (AS), versi akhir dari undang-undang (UU) menyangkut stimulus 787 miliar USD (American Recovery and Reinvestment Act atau ARRA) yang disahkan kongres beberapa waktu lalu tetap memuat provisi Buy American yang kontroversial.

Dia mewajibkan seluruh proyek yang didanai paket stimulus itu untuk menggunakan besi, baja, dan produk-produk manufaktur yang diproduksi AS. Sensitivitas Obama menghadapi protes-protes itu--dengan berupaya meyakinkan Kongres untuk meniadakan ketentuan ini--ternyata tidak berhasil menghentikan laju Kongres untuk memuat provisi Buy American. Obama sendiri, berbeda dengan Bush, sejak semula jelas bukan pengusung ideologi perdagangan bebas.

Bahkan dalam kampanyenya, Obama banyak menyuarakan pentingnya langkah-langkah proteksi untuk membangkitkan ekonomi AS. Misalnya, Obama menyatakan akan melakukan negosiasi ulang atas substansi North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang melibatkan AS, Kanada, dan Meksiko. Renegosiasi perjanjian perdagangan bebas juga akan segera dilakukan dengan Pemerintah Korea Selatan.

Akar Proteksionisme

Berlakunya provisi Buy American menunjukkan bahwa arus politik dalam negeri AS memang sedang mengarah pada proteksionisme. Tujuan utama dari rencana provisi Buy American antara lain untuk menolong industri besi dan baja yang mengalami kemunduran penjualan sekira 40 persen sebagai dampak resesi.

Meski dalam Act yang dikeluarkan Kongres tersebut dikatakan bahwa pemberlakuan program terkait harus sejalan dengan aturan perdagangan internasional, provisi Buy American sebenarnya sudah merupakan pelanggaran terhadap prinsip national treatment dalam WTO yang melarang suatu negara memberlakukan diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri dengan tujuan untuk memproteksi.

Itu jelas akan memengaruhi kepatuhan negara-negara lain terhadap aturan-aturan perdagangan internasional. Perang dagang dikhawatirkan akan terjadi. AS juga akan dirugikan karena-- seperti dikemukakan Wakil Presiden Bidang Internasional Kamar Dagang dan Industri AS John Murphy--50 juta penduduk AS bekerja pada sektor ekspor dan yang terkait.

Sekalipun sejak era Reagan AS menjadi kampiun globalisasi dan pasar bebas, kecenderungan proteksionisme sebenarnya memiliki akar politik yang kuat di AS. Rawi Abdelal dan Adam Segal (Foreign Affairs, Januari/Februari 2007) mencatat, pendekatan AS atas globalisasi dan pasar bebas sebenarnya bersifat ad hoc yang sangat dipengaruhi oleh US Treasury dan perusahaan-perusahaan swasta yang melakukan deal secara langsung dengan negara-negara lain.

Bahkan, menurut Abdelal dan Segal, para pengambil kebijakan di AS cenderung bersikap skeptis terhadap aturan-aturan global dan organisasi internasional serta lebih percaya pada perjanjian secara individu dan spesifik dengan negara-negara lain. Pendekatan AS ini berbeda dengan Uni Eropa yang menginginkan terciptanya aturan-aturan baku dalam ekonomi global dan penguatan organisasi internasional seperti OECD, IMF, Bank Dunia, dan Uni Eropa sendiri.

Kecenderungan skeptisisme terhadap perdagangan bebas kini telah demikian menguat dalam masyarakat AS. Jajak pendapat yang diselenggarakan NBC News dan Wall Street Journal (2007) menunjukkan, dalam periode 1999-2007 persentase responden di AS yang memandang kesepakatan perdagangan bebas akan merugikan AS mencapai 46 persen dibandingkan dengan 28 persen responden yang memandang perdagangan bebas sebagai hal yang menguntungkan.

Rakyat AS mulai melihat globalisasi dan perdagangan bebas sebagai ancaman, khususnya dalam hal lapangan kerja. Tantangan bagi ekonomi AS terutama muncul dari China, India, Eropa Timur, dan Brasil ketika globalisasi dan pasar bebas memungkinkan pekerjaan dan industri-industri tertentu dikerjakan di luar AS, tapi hasilnya dijual di AS.

Akibatnya, banyak perusahaan di AS dipaksa gulung tikar dan gelombang PHK pun tidak terelakkan. Sebuah situs internet di AS menggambarkan kondisi yang dihadapi pekerja AS sebagai berikut, "Para pekerja di Michigan bukan hanya menghadapi kompetisi dengan pekerja di California, tetapi juga pekerja di Beijing (China) atau Bangalore (India)."

Logika neoliberal tentang mengatasi defisit perdagangan dan meluasnya pengangguran dengan arus masuk investasi asing kini harus bertabrakan dengan sentimen publik AS yang tidak menghendaki "dominasi asing".

Di masa Bush yang sangat probisnis, sentimen publik semacam ini mengakibatkan perusahaan minyak raksasa China, CNOOC, membatalkan niatnya mengambil alih Unocal, sebuah perusahaan minyak AS pada 2005. Tahun 2006, perusahaan raksasa dari Uni Emirat Arab, Dubai Ports World, juga mendapat tentangan keras dari Kongres ketika hendak meluasan kontrolnya atas pelabuhan-pelabuhan besar di AS.

Dampak Proteksionisme

Provisi Buy American menandai kecenderungan proteksi AS yang lebih terang-terangan. Ini menambahkan fakta bahwa kehadiran korporasi-korporasi besar asing di AS, khususnya dari Asia, telah menjadi sumber debat publik yang hangat di AS.

Sejak masa Bush, secara "parsial" China yang menguasai 10 persen pasar AS sesungguhnya telah menjadi target utama langkah-langkah proteksionisme AS. Bukan karena Bush berkecenderungan protektif, tapi karena tekanan Kongres dan sejumlah segmen dalam masyarakat AS.

Kini China harus siap menghadapi proteksionisme yang lebih "sistematis" di masa Obama. Dalam kampanyenya Obama menyatakan, melanjutkan perdagangan dengan China dengan pola yang selama ini berlangsung berarti memperpanjang krisis di AS. Obama juga menyatakan akan menerapkan standar "etis" dalam ekonomi dengan mempersoalkan praktik-praktik yang menyalahi HAM dan lingkungan seperti masalah mempekerjakan anak dan praktik industri yang mengakibatkan degradasi lingkungan hidup yang banyak dituduhkan ke China.

Secara khusus Obama akan menerapkan program monitoring atas impor tekstil dari China untuk melindungi perusahaan sejenis di dalam negeri AS. Memang isu perdagangan, termasuk rencana-rencana AS untuk menerapkan standar lingkungan dan HAM, tidak disinggung dalam kunjungan Hillary Clinton ke China baru-baru ini. Namun tentu saja ini lebih merupakan upaya untuk memelihara keharmonisan dalam tata hubungan diplomasi kedua negara.

Menurunnya permintaan pasar AS dan global telah membuat ekspor China turun 17,5 persen pada Januari 2009 dibandingkan bulan yang sama tahun lalu (SINDO, 12/2/2009). Jumlah pengangguran di China diperkirakan mencapai 20 juta orang sebagai dampak langsung dari penurunan permintaan produk China akibat krisis global. Negara-negara lain, yang bergantung pada ekspor dan investasi ke AS seperti Jepang dan Korea Selatan, juga sedang terperosok dalam krisis ekonomi yang dalam.

Di Indonesia, ekspor tekstil ke AS menghidupi sekira 250.000 tenaga kerja. Bila AS menerapkan standar-standar khusus yang sulit dipenuhi oleh produsen kita, para pekerja tersebut terancam akan kehilangan pekerjaan, di samping devisa sekira USD4 miliar juga akan melayang. Provisi Buy American menyadarkan banyak pihak bahwa pada dasarnya AS bukanlah dewa yang selalu siap memakmurkan ekonomi negara lain dengan kesiapan membuka pasar domestiknya secara terus-menerus.

Bagi AS, globalisasi dan pasar bebas bukanlah harga mati atau kebenaran mutlak. Ia hanyalah pilihan rasional yang didasari hitungan politik dan ekonomi yang dapat berubah sesuai kebutuhan. Bukankah ini pelajaran penting bagi Indonesia?(*)

Syamsul Hadi
Dosen Ekonomi Politik Internasional FISIP UI
Sumber: Sindo 25/2/2009

Recent Post