Thursday, September 18, 2008

18 Tahun Tertunda, Film Kantata Takwa Akhirnya Dirilis

JAKARTA, KAMIS - Sutradara, produser, sekaligus politikus Eros Djarot mengaku sedang bernostalgia. Kenangan masa lalu itu kini menari-nari lagi di benaknya setelah film yang telah digarapnya sejak 18 tahun lalu, Kantata Takwa, akhirnya dirilis tahun ini. Dalam film tersebut, ia bekerja sama dengan sejumlah seniman dan budayawan, seperti WS Rendra, Iwan Fals, Setiawan Djody, Sawung Jabo, dan Gotot Prakosa. Film tersebut dibuat sejak tahun 1991 hingga 1994.

"Melihat film ini saya merasa bernostalgia. Bukan hanya merindukan orang-orangnya, tapi juga suasana pada saat itu," ungkap Eros seusai peluncuran film Kantata Takwa di Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta, Rabu (17/9).

Banyak suka dan duka dalam pembuatan film produksi Ekapraya Tata Cipta Film ini. Namun, semua itu kini terbayarkan ketika Kantata Takwa dapat dirilis tanpa ada satu adegan pun yang dipotong Lembaga Sensor Film.

Sutradara film Tjut Nyak Dien ini cukup khawatir. Pasalnya, film ini syarat akan kritik pemerintahan Orde Baru di bawah rezim Soeharto. "Kesulitan secara teknis pasti ada. Apalagi ketika pita film yang disimpan terlalu lama sudah banyak yang lengket dan hilang, menyebabkan banyak scene yang hilang," ungkap Eros.

Masalah lain tentu saja bagaimana mencocokkan kembali suara dan musik dalam setiap adegan yang cukup rumit. Secara keseluruhan, produksi akhir film Kantata Takwa sepenuhnya dikerjakan di Indonesia.

"Ini produk dalam negeri. Dan ternyata hasilnya tidak jelek-jelek banget. Enggak perlu ke luar negeri untuk proses editing suara. Yang penting kuncinya adalah kreativitas. Jangan karena banyak yang hilang lalu film ini enggak jadi," ucapnya. (C-03/EH)

Sumber: Kompas, Kamis, 18/9/2008


Thursday, September 4, 2008

Keluar dari Perangkap Pangan?

Oleh Gatot Irianto

Peningkatan kebutuhan pangan terjadi akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi (1,38 persen/tahun) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua pihak perlu mewaspadai fenomena itu.

Paling tidak ada tiga komoditas pangan nonberas yang perlu dicermati terkait peningkatan permintaan sehingga bisa mendorong ketergantungan berlebihan atas bahan pangan impor. Gandum, tetua ayam ras (grand parent stock) baik pedaging maupun petelur serta ternak sapi, merupakan tiga komoditas utama yang kini menjadi perhatian publik dan pemerintah karena ledakan permintaannya.

Peningkatan permintaan gandum dan daging ayam broiler yang besar akibat promosi dan layanan antar yang amat militan dan didukung industri hulu dan hilir perusahaan multinasional yang tangguh. Kondisi ini diperburuk terbatasnya edukasi media tentang hidup sehat atas pangan berbasis terigu dan daging ayam ras pada kelompok usia produktif dan anak anak.

Adapun lonjakan peningkatan impor sapi hingga kini terjadi akibat kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikan pelarangan pemotongan betina produktif agar sapi yang dipotong memenuhi potensi bobot potong ideal. Pilihan ini harus diambil karena dalam jangka panjang akan menyelamatkan populasi ternak sapi dan peningkatan produksi daging sapi untuk keluar dari perangkap impor sapi, daging, dan jeroan sapi.

Terigu dan ayam

Menyikapi situasi permintaan terigu yang terus melonjak, pemerintah menggenjot diversifikasi dengan produk tepung non- terigu berbasis komoditas lokal utamanya umbi-umbian dengan fortifikasi agar kompetitif terhadap gandum. Hal ini harus dilakukan karena agro-ekologi untuk tanaman gandum tidak banyak tersedia di Indonesia. Dengan harga jual pangan berbahan nonterigu lebih murah, edukasi dan promosi hidup sehat yang lebih gencar, diharapkan dalam jangka menengah, tepung nonterigu akan mampu bersaing melawan terigu yang kini mendominasi pangan nonberas.

Sementara untuk mengatasi ketergantungan atas ayam ras, pemerintah mendorong swasta mengimpor great grand parent stock (GGP) atau pure line agar jaminan produksi ayam usia sehari (day old chick/DOC) dapat dipastikan dalam kurun waktu lima tahun. Secara simultan penelitian dan pengembangan ayam lokal terus diintensifkan.

Semua pihak harus mewaspadai kampanye hitam atas ayam buras yang dituduh sebagai penyebar virus avian influenza seperti banyak dilansir media selama ini. Padahal, kita tahu, Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Ayam buras/kampung merupakan jaring pengaman sosial yang amat strategis guna mengeluarkan Indonesia dari perangkap pangan dan kemiskinan.

Itu sebabnya ada pihak yang ingin menghancurkan ayam buras Indonesia dengan berbagai modus. Padahal, 60 persen populasi ayam buras tahan terhadap avian influenza. Maka, amat tidak adil jika dimusnahkan dengan peraturan daerah (perda).

Produk lokal

Untuk melepaskan Indonesia dari perangkap pangan, maka perlu dilakukan (i) bagaimana semua pihak menggunakan produk pangan lokal dengan semua konsekuensinya; (ii) bagaimana menurunkan ketergantungan/ketagihan atas bahan pangan utama gandum agar cepat dan pasti, ketergantungan pangan dapat direduksi secara signifikan.

Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk telepon seluler dan mobil sendiri tanpa terpengaruh produk lain meski lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi taruhan terakhir dalam melepaskan diri dari perangkap pangan.

India juga merupakan teladan bagaimana keluar dari perangkap pangan dan menjadi negara industri. Kebijakan pemerintah dalam importasi pangan, penetapan tarif, dan keberpihakan terhadap petani sudah menunjukkan hasilnya meski harus diakui masih memerlukan tenaga, waktu, dana, dan pengawalan kontinu.

Kini, pertarungan pasar atas bahan pangan impor sudah tidak berbatas sehingga yang kuat kian kuat dan yang lemah kian tergilas. Maka, badan penelitian dan pengembangan pertanian memberi prioritas utama dalam pengembangan benih, bibit, pupuk, dan alat pada tahun anggaran 2008 agar Indonesia secara bertahap keluar dari perangkap pangan.

Lompatan produksi pangan nonterigu, ayam buras, dan sapi pasti dapat dilakukan dalam 3-5 tahun ke depan jika semua pihak secara konsisten melindungi pertanian dan petani kita.

*) Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian

Sumber: Kompas Kamis, 4 September 2008

Wednesday, September 3, 2008

Indonesia Masuk "Perangkap Pangan"

Petani Hanya Jadi Buruh Tanam

Jakarta, Kompas - Indonesia sebagai bangsa agraris ternyata sudah masuk dalam ”perangkap pangan” atau food trap negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.

Bahkan, empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meskipun belum kritis, jagung, daging sapi, dan susu patut diwaspadai.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, krisis ini terjadi karena Indonesia tidak mampu mengatasi persoalan itu sejak dulu. ”Dari waktu ke waktu tidak ada perkembangan berarti untuk mengurangi ketergantungan pangan impor itu, justru sebaliknya malah makin parah,” kata Rudi, Sabtu (30/8) di Surabaya.

Meningkatnya ketergantungan ketahanan pangan negeri ini pada negara lain dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.

Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 6,037 juta ton. Lima tahun kemudian, tahun 2005, impor gandum naik hampir 10 persen menjadi 6,589 juta ton. Tahun 2025, diproyeksikan impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 18,679 juta ton. Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai 60,5 persen dari total kebutuhan.

Untuk daging ayam ras, meskipun sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,15 miliar ekor (2007), tetapi super induk ayam (grand parent stock/GPS) dan induk ayam (parent stock/PS)-nya diimpor dari negara maju.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada susu. Setiap tahun 70 persen kebutuhan susu diimpor dalam bentuk skim.

Untuk jagung, produksi tahun 2008 memang surplus. Namun, peningkatan produksi itu ditunjang oleh penggunaan benih jagung hibrida. Tahun 2008, penggunaan hibrida mencapai 43 persen dari total luas tanaman jagung nasional 3,5 juta hektar. ”Kondisi jagung lebih baik karena ada progres penggunaan teknologi,” kata Rudi.

Meskipun begitu, kebutuhan benih jagung hibrida sekitar 30.100 ton per tahun itu sebagian atau 43 persen bukan berasal dari perusahaan benih nasional atau petani penangkar, tetapi diproduksi oleh perusahaan multinasional, seperti Bayer Crop dan Dupont.

Ketergantungan pada impor juga terjadi pada daging sapi. Impor dalam bentuk daging dan jeroan beku per tahun mencapai 64.000 ton. Adapun impor sapi bakalan setiap tahun sekitar 600.000 ekor.

Peran negara kuat

Menanggapi situasi ketahanan pangan Indonesia, yang sangat bergantung pada impor, ahli peneliti utama kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Husein Sawit, mengakui, produksi dan perdagangan pangan dunia memang semakin terkonsentrasi ke negara-negara maju. Selain itu, peran perusahaan multinasional (MNCs) pun tambah kuat dan berpengaruh.

Untuk menguasai pasar produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia, negara-negara maju itu melakukan politik dumping. AS dan Uni Eropa, misalnya, menyubsidi pertanian mereka agar komoditas yang dihasilkan dapat memenangi persaingan di pasar dunia.

Konsentrasi perdagangan pada industri raksasa dunia tampak dari peran MNCs yang menguasai industri hulu sarana produksi pertanian, seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida. Tidak hanya di hulu, di hilir pun MNCs ”menggenggam” industri hilir pertanian, antara lain dalam industri pengolahan pangan.

Guna mendukung hegemoninya di pasar komoditas pangan, perusahaan multinasional juga mengembangkan ”revolusi” ritel melalui hipermarket dan perdagangan ritel pangan di negara berkembang. Braun dalam hasil penelitiannya di International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkirakan, total penjualan 10 perusahaan MNCs global untuk sarana produksi pertanian mencapai 40 miliar dollar AS, industri pengolahan dan perdagangan pangan 409 miliar dollar AS, dan industri pengecer 1.091 miliar dollar AS (lihat tabel).

Negara berkembang, seperti Indonesia, hanya kebagian menjadi buruh tanam untuk sarana produksi yang dihasilkan MNCs. Hasil produksi petani dan buruh tani Indonesia itu diolah dan diperdagangkan oleh industri pengolahan pangan yang juga milik perusahaan multinasional. Selanjutnya hasil produksi itu diperdagangkan melalui perusahaan ritel, yang juga milik perusahaan multinasional, kepada konsumen, yaitu masyarakat Indonesia, termasuk petani.

Perusahaan Monsanto dari AS, misalnya, dalam 10 tahun terakhir memasok berbagai jenis benih, seperti jagung, kapas, dan sayuran. Laboratorium pembibitannya tidak hanya terdapat di AS, tetapi di ratusan lokasi di dunia.

Syngenta (Swiss), mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I-2008, yakni menjadi 7,3 miliar dollar AS, dibandingkan semester I-2007. Saat ini Syngenta memiliki 300 benih terdaftar dan 500 varietas benih komersial.

Rudi mengingatkan, Indonesia akan semakin bergantung pada pangan impor. ”Apabila sewaktu-waktu terjadi gejolak pangan impor di tengah sektor riil banyak bergantung pada bahan baku impor, hal itu akan membahayakan perekonomian nasional.

Daya saing rendah

Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, tingginya ketergantungan pada pangan impor karena rendahnya daya saing dan kesiapan teknologi pertanian. Gandum, misalnya, kebutuhan terhadap komoditas ini terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum per kapita per tahun mencapai 10 kilogram. Padahal, gandum bukan komoditas unggulan negeri ini.

”Arah diversifikasi konsumsi pangan kita keliru. Salah satu sebabnya, kebijakan pemerintah yang kurang pas,” ujarnya.

Siswono mengingatkan, Indonesia tengah digiring masuk dalam perangkap pangan negara maju dan MNCs. Ironisnya, pemerintah justru memberikan jalan bagi mereka untuk ”mencengkeram” negeri ini.

Hal itu, antara lain, tampak dari dibebaskannya bea masuk impor gandum dan kedelai. Kebijakan itu, menurut Siswono, menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpikir jangka pendek.

Menanggapi ketergantungan pangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian Gatot Irianto mengatakan, di tengah arus globalisasi Indonesia memang tidak bisa 100 persen mandiri. Memang ada ketergantungan, tetapi masih dalam batas yang bisa dikontrol.

Artinya bila sewaktu-waktu ada kenaikan harga pangan global, Indonesia masih bisa menyediakan pangan. Menjadi berbahaya bila ketergantungan sudah sepenuhnya terjadi.

Di bidang penelitian, kata Gatot, sebenarnya Indonesia tidak kalah. Banyak varietas unggul bermutu benih kedelai yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, peningkatan produksi kedelai tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Harus bertahap.

Terkait dengan bibit unggas, sudah ada sejumlah investor yang tertarik menanamkan modal di Indonesia dalam produksi GPS dan PS. Teknologi pembibitan unggas juga terus dikembangkan. Meskipun begitu, keberadaan usaha kecil ayam kampung juga harus tetap dilestarikan agar Indonesia memiliki ketahanan pangan untuk daging ayam dan telur. (MAS/JOE)

Source: Kompas, Senin, 1 September 2008

Tulisan Yang Baik dan Seni Menulis Cepat

Oleh Naning Pranoto *

Pendahuluan

Good writing is purposeful, its says something and says it correctly
Good writing has “voice and “energy
Good writing is thoughtful and thought provoking
Good writing communicates an important message clearly to intended audience
Good writing expresses the writer self honestly and evokes a personal response in the reader
(Christopher C. Burnham)

Pernyataan di atas hanyalah merupakan sebagian dari penilaian bobot tulisan yang baik, antara lain: bermisi, menyuarakan sesuatu (kebenaran) dan memompakan semangat, mengajak pembaca berpikir dan bertindak, mengkomunikasikan pesan yang jelas di samping mengekspresikan pendapat/pemikiran penulis mengenai sesuatu hal yang akan mengundang respon/reaksi pembacanya.. Bagi kita, deretan bobot tersebut harus ditambah dengan kata: laku dijual laris (selling well). Sebab, kita menulis untuk tujuan suatu industri yaitu bermisi (75%) ‘making money Bahkan kalau mungkin, tulisan kita bisa dijadikan ‘money machine (mesin uang), mengapa tidak?. Sebab, kita menulis untuk majalah komersil. Saya pernah menjalaninya selama delapan tahun, ketika saya bekerja di Majalah Wanita “Kartini dan kemudian memimpin Majalah “Jakarta-Jakarta Tetapi saya melihat, bagaimana pun, Majalah “Trubus masih mengemban misi idealis. Saya mengenal “Trubus sejak tahun 1976 ketika penampilannya masih ‘sangat lugu (tidak semewah sekarang ini) dan terbit (kalau tidak salah) bulanan. Sekarang, “Trubus menjadi majalah mingguan..

Menulis Cepat

Menjadi penulis untuk sebuah majalah mingguan dituntut mampu menulis cepat, walau tidak seberat wartawan sebuah harian. Cepat di sini dalam arti tidak bisa bersantai-santai menunggu ‘in the good-mood apalagi menanti datangnya inspirasi. Yang diwajibkan adalah: berpikir dan bertindak cepat dan tepat (akurat). Sebab akan tidak bermanfaat apabila bertindak cepat tetapi tidak tepat (salah/tidak akurat). Kesalahan dalam menulis untuk mass media-cetak (majalah, koran atau tabloid) akan menimbulkan kerugian antara lain:
(1) Memberi informasi yang salah kepada pembaca;
(2) Menurunkan bobot majalah dan
(3) Bila fatal akan mengakibatkan polemik (mengundang pro dan kontra).
Ketiga faktor ini biasanya membuat manajemen resah, karena akan merugikan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, agar bisa menulis secara cepat dan tepat, diperlukan strategi proses menulis yang sistematis dan dinamis. Strategi ini bisa ditempuh melalui:
1.Merumuskan dahulu (dengan masak-masak) materi tulisan yang akan ditulis/digarap, sesuai dengan hasil rapat redaksi (tentunya menarik untuk pembaca dan punya selling point tinggi)
2.Mendata point-point materi yang akan ditulis melalui: membaca literature, survei/riset lapangan, mencari narasumber (wawancara) dan eksperimen (bila diperlukan)
3.Penjabaran point-point Butir 2
4.Menganalisis materi yang akan ditulis
5.Menulis, termasuk mengedit disesuaikan dengan jatah kolom/halaman yang akan memuat tulisan yang digarap

Proses Menulis Cepat

Materi yang bisa ditulis cepat pada umumnya berupa reportase dan artikel yang sifatnya informasi (bukan esei). Maka dari itu, artikel yang ditulis:
1.Benar-benar informatif membawa pesan jelas (komplit).
2.Sebagai daya tarik tulisan itu haruslah mampu menyuarakan/menyampaikan sesuatu yang diperlukan pembaca.
3.Cara atau gaya penyampaiannya bersifat provokasi (dalam arti positif).
4.Media untuk menyampaikannya adalah bahasa yang sesuai dengan misi majalah dan sasaran pembacanya. Majalah “Trubus adalah majalah spesifik walau tidak terlalu segmented. Tentunya, bahasa yang dipergunakan tidak sama dengan bahasa untuk majalah berita (politik). Demikian pula jargon-jargonnya.
Seseorang mampu menulis dengan cepat dan tepat apabila yang bersangkutan menguasai tiga hal yaitu:
1.Memahami materi yang akan ditulisnya
2.Menguasai bahasa yang dipergunakan untuk menuliskan materi
3.Disiplin (mentaati dead-line).
Tanpa ketiga hal tersebut di atas, menulis cepat dan tepat akan sulit diwujudkan.
Mereka yang tidak sanggup akan merasa stress atau bekerja dalam tekanan. Akibatnya, kepala jadi pusing, perut mual dan kadang jadi pemarah dan ini akan menganggu rekan-rekannya produktif. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, setiap orang yang ingin bisa menulis cepat hendaknya melakukan aktivitas yang sifatnya membantu kelancaran menulis yaitu dengan:
1.Banyak pembaca literature yang ada kaitannya dengan materi-materi yang akan ditulis
2.Terus menerus memperkaya kosa-kosa dari sumber berbagai bacaan dan rajin membaca kamus, khususnya kamus spesial yang ada kaitannya dengan misi majalah yang digarapnya. Misalnya, untuk menulis di Majalah “Trubus perlu banyak membaca Kamus Biologi, Pertanian dan sejenisnya (maaf saya tidak begitu paham). Juga, menguasai istilah asing untuk nama-nama flora dan fauna.
3.Tidak suka menunda pekerjaan. Sebab, mereka yang suka menunda pekerjaan biasanya menjadi ‘malas menulis.
4.Taati deadline dengan cara bekerja tepat waktu dan mengurangi banyak bicara dengan rekan-rekan sekitar
5.Banyak praktik menulis untuk mengasah daya pikir dan ketrampilan proses menulis.
6.Temukan jam produktif menulis bagi diri masing-masing. Saya pribadi (setelah menjadi penulis lepas), biasa menulis produktif mulai pukul 03.00 (dini hari) sampai pukul 10.00, kemudian tidur sepanjang hari. Mulai produktif lagi pada pukul 16.00 -22.00, tetapi saya pergunakan untuk membaca. Di sela-sela membaca saya suka telepon teman atau SMS sebagai selingan/hiburan. Bila sepanjang hari ada acara, saya menulis hanya dari pukul 03.00 - 06.00. Di perjalanan saya suka membaca, sampai berjam-jam dan sampai di rumah (kalau tidak lelah) saya menulis.
7.Melakukan kegiatan menulis dengan semboyan writing for fun bukan menganggap writing is burden. Saya pribadi punya semboyan writing is paradise. Saya beranggapan demikian karena saya sangat mencintai dunia menulis sepertihalnya saya sangat suka membaca.

Menulis dalam Kepala
Saya mendapat istilah ‘menulis dalam kepala ketika belajar creative writing di Australia. Proses ini disebut mapping-mind. ‘Menulis dalam kepala (MDK) menurut pengalaman saya sangat cocok diterapkan oleh mereka yang dituntut menulis cepat. Hal ini ditegaskan oleh pengalaman Gary Provost yang menulis buku laris berjudul 100 Ways To Improve Your Writing.
Gary Provost mantan wartawan harian terkemuka di AS, kemudian menjadi wartawan lepas karena berambisi menulis buku (yang memerlukan waktu banyak untuk memcari bahan dan menulis) tentang pengalamannya sebagai wartawan. Ia menegaskan, hanya orang-orang yang bisa menulis cepat dan tepat yang bisa menjadi wartawan dan penulis yang baik dan produktif. Salah satu resepnya untuk menjadi penulis cepat dan tepat adalah melakukan MDK. Ini bisa dilakukan di mana saja, termasuk di perjalanan sambil mengemudi mobil. Asalkan, dilakukan dengan tanpa tekanan, tanpa beban, sehingga menyenangkan (termasuk tidak menganggu konsentrasi mengemudi mobil).
MDK bisa dilakukan dengan lancar apabila yang menjalankannya dengan senang, rileks dan menganggap itu suatu kebutuhan hidup. Maka dari itu, meskipun tidak sedang di depan mesin tulis, maka berlaku/bertindak seperti sedang di depan mesin tulis. Yang dilakukan antara lain:
1.Membuat/menentukan judul
2.Menentukan plot tulisan
3.Menganalisa hal-hal yang perlu ditonjolkan dalam tulisan
4.Membuat kesimpulan
5.Memikirkan strukur
6.Mereka-reka gaya bahasa
7.Memikirkan panjang tulisan
Ketujuh unsur ini bila digarap matang, maka begitu berada di depan mesin tulis langsung bisa on (menulis). Pengalaman saya, menulis beberapa buku saya selesaikan melalui MDK dalam perjalanan saya yang panjang (kebetulan saya suka traveling) dan pada saat-saat saya menikmati suatu pemandangan atau duduk-duduk sambil makan (saya kebetulan suka makan dan menikmati pemandangan indah khususnya laut, pegunungan dan langit). Tempat-tempat tersebut bagi saya sangat inspiratif.
Menghadapi Blocking
Kegiatan menulis adalah aktivitas yang terdiri lima rangkaian yaitu:
1.Menggunakan pikiran (konsentrasi tinggi)
2.Mengimplementasikan pengetahuan
3.Suasana hati indah (good feelings/in the good mood)
4.Kondisi tubuh yang fit
5.Tempat kerja yang nyaman
Bila kelima unsur tersebut terpenuhi, proses menulis biasanya berjalan lancar. Sayangnya, keadaan tidak selalu bisa demikian ideal. Banyak hal yang membuat kelima t unsur itu tidak bisa menyertai pada waktu kita menulis. Akibatnya, terjadi blocking proses menulis tiba-tiba mandeg. Blocking disebut pula ‘mampet sehingga sulit menulis.
Bagi penulis lepas, terjadinya blocking bisa ditolerir. Tetapi akan menjadi masalah bila seorang penulis tetap/wartawan di sebuah mass-media sering mengalami blocking. Tentu ia akan dicap ‘tidak produktif sebagai pengganti sebutan malas. Bahkan bila sudah keterlaluan sangat mungkin diberhentikan.
Bagaimana pun, terjadinya blocking sifatnya alami (tidak dibuat-buat). Jadi, bagi yang sedang mengalami blocking hendaknya jangan disalah-salahkan atau dimarahi-marahi. Yang perlu dilakukan adalah mencari jalan keluar untuk membebaskan diri dari jeratan kemampetan tersebut, antara lain:
2.Lupakan atau singkirkan hal-hal yang membuat Anda merasa ‘mampet (membuat pikiran terganggu).
3.Tarik nafas sebentar, sambil jalan-jalan melemaskan otot atau ngobrol sejenak dengan teman. Atau, mungkin minum secangkir kopi?
4.Bila ruangan/tempat kerja penyebab mampet, pindahkan mesin tulis Anda ke ruangan yang lebih baik/mendukung proses menulis
5.Bila penyebabnya kekurangan bahan, cepat-cepat membaca (mencari pelengkapnya)
6.Bila penyebabnya tubuh kurang sehat, ini yang sulit diatasi. Oleh karena itu bila Anda telah memutuskan menjadi penulis/wartawan tetap hendaknya pandai-pandai menjaga kesehatan.
7.Bila penyebabnya merasa ‘tidak in the mood atau sedang bad mood hal itu harus diusir jauh-jauh karena Anda dituntut untuk senantisa in the good mood. Anda bekerja mengejar argo deadline. Bila Anda tidak mampu mengejar maka akan ketinggalan, berarti gagal. Dampaknya, diberhentikan.
8.Memacu diri agar tetap menulis
Agar Tetap In The Mood
Agar tetap in the mood sebagai penulis cepat, maka perlu memposisikan diri sebagai penulis yang produktif. Maksudnya, penulis yang mampu menulis sesuai dengan tugas yang diberikan. Kuncinya, harus senantiasa memposisikan diri di track penulis cepat dengan bekal:
1.Terus mengembangkan dan memperluas wawasan pengetahuan yang diperlukan untuk menulis cepat. Cara yang paling baik adalah membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan materi tersebut.
2.Banyak bergaul (mingle) dengan para pakar dan praktisi yang ada kaitannya dengan Butir 1, agar dapat menghasilkan karya yang menarik (disukai pembaca)
3.Meningkatkan kemampuan menulis (berikut editing) melalui praktik k menulis dan membaca tulisan penulis senior yang Anda anggap baik (idola)
4.Meningkatkan kemampuan penguasaan bahasa (multi bahasa) untuk memperkuat gaya penulisan
5.Mau menerima kritik, saran dan pelatihan-pelatihan penulisan (writing-workshop)
6. Menjaga kesehatan secara optimal agar tahan menulis berjam-jam atau menulis dalam kondisi tekanan (dikejar dealine).
7.Jangan jemu-jemu ber-MDK
Selamat menulis cepat.

Daftar Pustaka
Burham, Christopher C, 1996. Writing From Inside Out. Orlando-Florida: Harcourt Brace Jovanovich Publishers.

Peter, Pam, 1990. The Macquarie File Writers Guide. Queensland: Jacaranda Press
Pranoto, Naning, 2004. Creative Writing 72 Seni Mengarang. Jakarta: Primamedia Pustaka

Provost, Gary, 1985. 100 Ways To Improve Your Writing. New York: Penguin Book
Warriner, John E, 1977. Advance Composition: A Book of Models for Writing. Orlando-Florida: Harcourt Barce Jovanovich Publishers

*) Naning Pranoto adalah novelis dan juga Dosen FSIP (Hubungan Internasional Chinese Studies) dan Fak. Sastra untuk Mata Kuliah Academic Writing dan Creative Writing . Selain itu ia aktif sebagai pengasuh Website www.rayakultura.net, Ketua Garda Budaya a.l. penyelenggara Creatitve Writing dan Academic Writing Workshop untuk umum.

**) Alamat Garda Budaya, Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau, Bukit Sentul, Bogor 16810. Telepon/Fax (021) 87960940, E-mail: garda_budindo@yahoo.co.uk

***) dipresentasikan pada Acara Workshop Majalah Trubus, 20 Agustus 2005 di Hotel Salak - Bogor

Sumber: rayakultura.net

Thursday, August 28, 2008

Lentera Jiwa

Oleh Andi F Noya

Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena ‘pecah kongsi’ dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi yang tinggi, dengan ‘power’ yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.

Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Metro TV.

Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. ‘’Andy ibarat ikan di dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih besar.’’

Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja, sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV. Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju. Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.

Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya ‘dipindahkan’ oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.

Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.

Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari ‘keju’ itu sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti ‘lentera jiwa’ saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.

Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul ‘Lentera Jiwa’ yang dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada banyak orang.
Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa ‘lentera jiwanya’ ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.

Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.

Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus 2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. ‘’Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,’’ ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.

Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya untuk menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.
Simak juga bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan. Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.

Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.

Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup. ‘’Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya,’’ ujar Yon Koeswoyo, salah satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah Rolling Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. ‘’Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,’’ katanya.

Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.

source: www.kickandy.com

Thursday, August 7, 2008

Biofuel: The Clean Energy Scam

By Michael Grunwald

From his Cessna a mile above the southern Amazon, John Carter looks down on the destruction of the world's greatest ecological jewel. He watches men converting rain forest into cattle pastures and soybean fields with bulldozers and chains. He sees fires wiping out such gigantic swaths of jungle that scientists now debate the "savannization" of the Amazon. Brazil just announced that deforestation is on track to double this year; Carter, a Texas cowboy with all the subtlety of a chainsaw, says it's going to get worse fast. "It gives me goose bumps," says Carter, who founded a nonprofit to promote sustainable ranching on the Amazon frontier. "It's like witnessing a rape."

The Amazon was the chic eco-cause of the 1990s, revered as an incomparable storehouse of biodiversity. It's been overshadowed lately by global warming, but the Amazon rain forest happens also to be an incomparable storehouse of carbon, the very carbon that heats up the planet when it's released into the atmosphere. Brazil now ranks fourth in the world in carbon emissions, and most of its emissions come from deforestation. Carter is not a man who gets easily spooked--he led a reconnaissance unit in Desert Storm, and I watched him grab a small anaconda with his bare hands in Brazil--but he can sound downright panicky about the future of the forest. "You can't protect it. There's too much money to be made tearing it down," he says. "Out here on the frontier, you really see the market at work."

This land rush is being accelerated by an unlikely source: biofuels. An explosion in demand for farm-grown fuels has raised global crop prices to record highs, which is spurring a dramatic expansion of Brazilian agriculture, which is invading the Amazon at an increasingly alarming rate.

Propelled by mounting anxieties over soaring oil costs and climate change, biofuels have become the vanguard of the green-tech revolution, the trendy way for politicians and corporations to show they're serious about finding alternative sources of energy and in the process slowing global warming. The U.S. quintupled its production of ethanol--ethyl alcohol, a fuel distilled from plant matter--in the past decade, and Washington has just mandated another fivefold increase in renewable fuels over the next decade. Europe has similarly aggressive biofuel mandates and subsidies, and Brazil's filling stations no longer even offer plain gasoline. Worldwide investment in biofuels rose from $5 billion in 1995 to $38 billion in 2005 and is expected to top $100 billion by 2010, thanks to investors like Richard Branson and George Soros, GE and BP, Ford and Shell, Cargill and the Carlyle Group. Renewable fuels has become one of those motherhood-and-apple-pie catchphrases, as unobjectionable as the troops or the middle class.

But several new studies show the biofuel boom is doing exactly the opposite of what its proponents intended: it's dramatically accelerating global warming, imperiling the planet in the name of saving it. Corn ethanol, always environmentally suspect, turns out to be environmentally disastrous. Even cellulosic ethanol made from switchgrass, which has been promoted by eco-activists and eco-investors as well as by President Bush as the fuel of the future, looks less green than oil-derived gasoline.

Meanwhile, by diverting grain and oilseed crops from dinner plates to fuel tanks, biofuels are jacking up world food prices and endangering the hungry. The grain it takes to fill an SUV tank with ethanol could feed a person for a year. Harvests are being plucked to fuel our cars instead of ourselves. The U.N.'s World Food Program says it needs $500 million in additional funding and supplies, calling the rising costs for food nothing less than a global emergency. Soaring corn prices have sparked tortilla riots in Mexico City, and skyrocketing flour prices have destabilized Pakistan, which wasn't exactly tranquil when flour was affordable.

Biofuels do slightly reduce dependence on imported oil, and the ethanol boom has created rural jobs while enriching some farmers and agribusinesses. But the basic problem with most biofuels is amazingly simple, given that researchers have ignored it until now: using land to grow fuel leads to the destruction of forests, wetlands and grasslands that store enormous amounts of carbon.

Backed by billions in investment capital, this alarming phenomenon is replicating itself around the world. Indonesia has bulldozed and burned so much wilderness to grow palm oil trees for biodiesel that its ranking among the world's top carbon emitters has surged from 21st to third according to a report by Wetlands International. Malaysia is converting forests into palm oil farms so rapidly that it's running out of uncultivated land. But most of the damage created by biofuels will be less direct and less obvious. In Brazil, for instance, only a tiny portion of the Amazon is being torn down to grow the sugarcane that fuels most Brazilian cars. More deforestation results from a chain reaction so vast it's subtle: U.S. farmers are selling one-fifth of their corn to ethanol production, so U.S. soybean farmers are switching to corn, so Brazilian soybean farmers are expanding into cattle pastures, so Brazilian cattlemen are displaced to the Amazon. It's the remorseless economics of commodities markets. "The price of soybeans goes up," laments Sandro Menezes, a biologist with Conservation International in Brazil, "and the forest comes down."

Deforestation accounts for 20% of all current carbon emissions. So unless the world can eliminate emissions from all other sources--cars, power plants, factories, even flatulent cows--it needs to reduce deforestation or risk an environmental catastrophe. That means limiting the expansion of agriculture, a daunting task as the world's population keeps expanding. And saving forests is probably an impossibility so long as vast expanses of cropland are used to grow modest amounts of fuel. The biofuels boom, in short, is one that could haunt the planet for generations--and it's only getting started.

Why the Amazon Is on Fire

This destructive biofuel dynamic is on vivid display in Brazil, where a Rhode Island--size chunk of the Amazon was deforested in the second half of 2007 and even more was degraded by fire. Some scientists believe fires are now altering the local microclimate and could eventually reduce the Amazon to a savanna or even a desert. "It's approaching a tipping point," says ecologist Daniel Nepstad of the Woods Hole Research Center.

I spent a day in the Amazon with the Kamayura tribe, which has been forced by drought to replant its crops five times this year. The tribesmen I met all complained about hacking coughs and stinging eyes from the constant fires and the disappearance of the native plants they use for food, medicine and rituals. The Kamayura had virtually no contact with whites until the 1960s; now their forest is collapsing around them. Their chief, Kotok, a middle-aged man with an easy smile and Three Stooges hairdo that belie his fierce authority, believes that's no coincidence. "We are people of the forest, and the whites are destroying our home," says Kotok, who wore a ceremonial beaded belt, a digital watch, a pair of flip-flops and nothing else. "It's all because of money."

Kotok knows nothing about biofuels. He's more concerned about his tribe's recent tendency to waste its precious diesel-powered generator watching late-night soap operas. But he's right. Deforestation can be a complex process; for example, land reforms enacted by Brazilian President Luiz Inácio Lula da Silva have attracted slash-and-burn squatters to the forest, and "use it or lose it" incentives have spurred some landowners to deforest to avoid redistribution.

The basic problem is that the Amazon is worth more deforested than it is intact. Carter, who fell in love with the region after marrying a Brazilian and taking over her father's ranch, says the rate of deforestation closely tracks commodity prices on the Chicago Board of Trade. "It's just exponential right now because the economics are so good," he says. "Everything tillable or grazeable is gouged out and cleared."

That the destruction is taking place in Brazil is sadly ironic, given that the nation is also an exemplar of the allure of biofuels. Sugar growers here have a greener story to tell than do any other biofuel producers. They provide 45% of Brazil's fuel (all cars in the country are able to run on ethanol) on only 1% of its arable land. They've reduced fertilizer use while increasing yields, and they convert leftover biomass into electricity. Marcos Jank, the head of their trade group, urges me not to lump biofuels together: "Grain is good for bread, not for cars. But sugar is different." Jank expects production to double by 2015 with little effect on the Amazon. "You'll see the expansion on cattle pastures and the Cerrado," he says.

So far, he's right. There isn't much sugar in the Amazon. But my next stop was the Cerrado, south of the Amazon, an ecological jewel in its own right. The Amazon gets the ink, but the Cerrado is the world's most biodiverse savanna, with 10,000 species of plants, nearly half of which are found nowhere else on earth, and more mammals than the African bush. In the natural Cerrado, I saw toucans and macaws, puma tracks and a carnivorous flower that lures flies by smelling like manure. The Cerrado's trees aren't as tall or dense as the Amazon's, so they don't store as much carbon, but the region is three times the size of Texas, so it stores its share.

At least it did, before it was transformed by the march of progress--first into pastures, then into sugarcane and soybean fields. In one field I saw an array of ovens cooking trees into charcoal, spewing Cerrado's carbon into the atmosphere; those ovens used to be ubiquitous, but most of the trees are gone. I had to travel hours through converted Cerrado to see a 96-acre (39 hectare) sliver of intact Cerrado, where a former shopkeeper named Lauro Barbosa had spent his life savings for a nature preserve. "The land prices are going up, up, up," Barbosa told me. "My friends say I'm a fool, and my wife almost divorced me. But I wanted to save something before it's all gone."

The environmental cost of this cropland creep is now becoming apparent. One groundbreaking new study in Science concluded that when this deforestation effect is taken into account, corn ethanol and soy biodiesel produce about twice the emissions of gasoline. Sugarcane ethanol is much cleaner, and biofuels created from waste products that don't gobble up land have real potential, but even cellulosic ethanol increases overall emissions when its plant source is grown on good cropland. "People don't want to believe renewable fuels could be bad," says the lead author, Tim Searchinger, a Princeton scholar and former Environmental Defense attorney. "But when you realize we're tearing down rain forests that store loads of carbon to grow crops that store much less carbon, it becomes obvious."

The growing backlash against biofuels is a product of the law of unintended consequences. It may seem obvious now that when biofuels increase demand for crops, prices will rise and farms will expand into nature. But biofuel technology began on a small scale, and grain surpluses were common. Any ripples were inconsequential. When the scale becomes global, the outcome is entirely different, which is causing cheerleaders for biofuels to recalibrate. "We're all looking at the numbers in an entirely new way," says the Natural Resources Defense Council's Nathanael Greene, whose optimistic "Growing Energy" report in 2004 helped galvanize support for biofuels among green groups.

Several of the most widely cited experts on the environmental benefits of biofuels are warning about the environmental costs now that they've recognized the deforestation effect. "The situation is a lot more challenging than a lot of us thought," says University of California, Berkeley, professor Alexander Farrell, whose 2006 Science article calculating the emissions reductions of various ethanols used to be considered the definitive analysis. The experts haven't given up on biofuels; they're calling for better biofuels that won't trigger massive carbon releases by displacing wildland. Robert Watson, the top scientist at the U.K.'s Department for the Environment, recently warned that mandating more biofuel usage--as the European Union is proposing--would be "insane" if it increases greenhouse gases. But the forces that biofuels have unleashed--political, economic, social--may now be too powerful to constrain.

America the Bio-Foolish

The best place to see this is America's biofuel mecca: Iowa. Last year fewer than 2% of U.S. gas stations offered ethanol, and the country produced 7 billion gal. (26.5 billion L) of biofuel, which cost taxpayers at least $8 billion in subsidies. But on Nov. 6, at a biodiesel plant in Newton, Iowa, Hillary Rodham Clinton unveiled an eye-popping plan that would require all stations to offer ethanol by 2017 while mandating 60 billion gal. (227 billion L) by 2030. "This is the fuel for a much brighter future!" she declared. Barack Obama immediately criticized her--not for proposing such an expansive plan but for failing to support ethanol before she started trolling for votes in Iowa's caucuses.

If biofuels are the new dotcoms, Iowa is Silicon Valley, with 53,000 jobs and $1.8 billion in income dependent on the industry. The state has so many ethanol distilleries under construction that it's poised to become a net importer of corn. That's why biofuel-pandering has become virtually mandatory for presidential contenders. John McCain was the rare candidate who vehemently opposed ethanol as an outrageous agribusiness boondoggle, which is why he skipped Iowa in 2000. But McCain learned his lesson in time for this year's caucuses. By 2006 he was calling ethanol a "vital alternative energy source."

Members of Congress love biofuels too, not only because so many dream about future Iowa caucuses but also because so few want to offend the farm lobby, the most powerful force behind biofuels on Capitol Hill. Ethanol isn't about just Iowa or even the Midwest anymore. Plants are under construction in New York, Georgia, Oregon and Texas, and the ethanol boom's effect on prices has helped lift farm incomes to record levels nationwide.

Someone is paying to support these environmentally questionable industries: you. In December, President Bush signed a bipartisan energy bill that will dramatically increase support to the industry while mandating 36 billion gal. (136 billion L) of biofuel by 2022. This will provide a huge boost to grain markets.

Why is so much money still being poured into such a misguided enterprise? Like the scientists and environmentalists, many politicians genuinely believe biofuels can help decrease global warming. It makes intuitive sense: cars emit carbon no matter what fuel they burn, but the process of growing plants for fuel sucks some of that carbon out of the atmosphere. For years, the big question was whether those reductions from carbon sequestration outweighed the "life cycle" of carbon emissions from farming, converting the crops to fuel and transporting the fuel to market. Researchers eventually concluded that yes, biofuels were greener than gasoline. The improvements were only about 20% for corn ethanol because tractors, petroleum-based fertilizers and distilleries emitted lots of carbon. But the gains approached 90% for more efficient fuels, and advocates were confident that technology would progressively increase benefits.

There was just one flaw in the calculation: the studies all credited fuel crops for sequestering carbon, but no one checked whether the crops would ultimately replace vegetation and soils that sucked up even more carbon. It was as if the science world assumed biofuels would be grown in parking lots. The deforestation of Indonesia has shown that's not the case. It turns out that the carbon lost when wilderness is razed overwhelms the gains from cleaner-burning fuels. A study by University of Minnesota ecologist David Tilman concluded that it will take more than 400 years of biodiesel use to "pay back" the carbon emitted by directly clearing peat lands to grow palm oil; clearing grasslands to grow corn for ethanol has a payback period of 93 years. The result is that biofuels increase demand for crops, which boosts prices, which drives agricultural expansion, which eats forests. Searchinger's study concluded that overall, corn ethanol has a payback period of about 167 years because of the deforestation it triggers.

Not every kernel of corn diverted to fuel will be replaced. Diversions raise food prices, so the poor will eat less. That's the reason a U.N. food expert recently called agrofuels a "crime against humanity." Lester Brown of the Earth Policy Institute says that biofuels pit the 800 million people with cars against the 800 million people with hunger problems. Four years ago, two University of Minnesota researchers predicted the ranks of the hungry would drop to 625 million by 2025; last year, after adjusting for the inflationary effects of biofuels, they increased their prediction to 1.2 billion.

Industry advocates say that as farms increase crop yields, as has happened throughout history, they won't need as much land. They'll use less energy, and they'll use farm waste to generate electricity. To which Searchinger says: Wonderful! But growing fuel is still an inefficient use of good cropland. Strange as it sounds, we're better off growing food and drilling for oil. Sure, we should conserve fuel and buy efficient cars, but we should keep filling them with gas if the alternatives are dirtier.

The lesson behind the math is that on a warming planet, land is an incredibly precious commodity, and every acre used to generate fuel is an acre that can't be used to generate the food needed to feed us or the carbon storage needed to save us. Searchinger acknowledges that biofuels can be a godsend if they don't use arable land. Possible feedstocks include municipal trash, agricultural waste, algae and even carbon dioxide, although none of the technologies are yet economical on a large scale. Tilman even holds out hope for fuel crops--he's been experimenting with Midwestern prairie grasses--as long as they're grown on "degraded lands" that can no longer support food crops or cattle.

Changing the Incentives

That's certainly not what's going on in Brazil. There's a frontier feel to the southern Amazon right now. Gunmen go by names like Lizard and Messiah, and Carter tells harrowing stories about decapitations and castrations and hostages. Brazil has remarkably strict environmental laws--in the Amazon, landholders are permitted to deforest only 20% of their property--but there's not much law enforcement. I left Kotok to see Blairo Maggi, who is not only the soybean king of the world, with nearly half a million acres (200,000 hectares) in the province of Mato Grosso, but also the region's governor. "It's like your Wild West right now," Maggi says. "There's no money for enforcement, so people do what they want."

Maggi has been a leading pioneer on the Brazilian frontier, and it irks him that critics in the U.S.--which cleared its forests and settled its frontier 125 years ago but still provides generous subsidies to its farmers--attack him for doing the same thing except without subsidies and with severe restrictions on deforestation. Imagine Iowa farmers agreeing to keep 80%--or even 20%--of their land in native prairie grass. "You make us sound like bandits," Maggi tells me. "But we want to achieve what you achieved in America. We have the same dreams for our families. Are you afraid of the competition?"

Maggi got in trouble recently for saying he'd rather feed a child than save a tree, but he's come to recognize the importance of the forest. "Now I want to feed a child and save a tree," he says with a grin. But can he do all that and grow fuel for the world as well? "Ah, now you've hit the nail on the head." Maggi says the biofuel boom is making him richer, but it's also making it harder to feed children and save trees. "There are many mouths to feed, and nobody's invented a chip to create protein without growing crops," says his pal Homero Pereira, a congressman who is also the head of Mato Grosso's farm bureau. "If you don't want us to tear down the forest, you better pay us to leave it up!"

Everyone I interviewed in Brazil agreed: the market drives behavior, so without incentives to prevent deforestation, the Amazon is doomed. It's unfair to ask developing countries not to develop natural areas without compensation. Anyway, laws aren't enough. Carter tried confronting ranchers who didn't obey deforestation laws and nearly got killed; now his nonprofit is developing certification programs to reward eco-sensitive ranchers. "People see the forest as junk," he says. "If you want to save it, you better open your pocketbook. Plus, you might not get shot."

The trouble is that even if there were enough financial incentives to keep the Amazon intact, high commodity prices would encourage deforestation elsewhere. And government mandates to increase biofuel production are going to boost commodity prices, which will only attract more investment. Until someone invents that protein chip, it's going to mean the worst of everything: higher food prices, more deforestation and more emissions.

Advocates are always careful to point out that biofuels are only part of the solution to global warming, that the world also needs more energy-efficient lightbulbs and homes and factories and lifestyles. And the world does need all those things. But the world is still going to be fighting an uphill battle until it realizes that right now, biofuels aren't part of the solution at all. They're part of the problem.

Source: Time Magazine, April 2008

Saturday, July 26, 2008

Hikmah KUNGFU PANDA



Po, si Panda jantan, yang sehari-hari bekerja di toko mie ayahnya, memiliki impian untuk menjadi seorang pendekar Kung Fu. Tak disangka, dalam suatu kompetisi, Po dinobatkan sebagai Pendekar Naga yang dinanti-nantikan kehadirannya untuk melindungi desa dari balas dendam Tai Lung.

Saat menonton film animasi ini, kita seperti diingatkan tentang beberapa hal:

1.The secret to be special is you have to believe you're special.


Po hampir putus asa karena tidak mampu memecahkan rahasia Kitab Naga, yang hanya berupa lembaran kosong. Wejangan dari ayahnya-lah yang akhirnya membuatnya kembali bersemangat dan memandang positif dirinya sendiri.

Kalau kita berpikir diri kita adalah spesial, unik, berharga kita pun akan punya daya dorong untuk melakukan hal-hal yang spesial. Kita akan bisa, kalau kita berpikir kita bisa. Seperti kata Master Oogway, You just need to believe

2.Teruslah kejar impianmu.


Po, panda gemuk yang untuk bergerak saja susah akhirnya bisa menguasai ilmu Kung Fu. Berapa banyak dari kita yang akhirnya menyerah, gagal mencapai impian karena terhalang oleh pikiran negatif diri kita sendiri?

Seperti kata Master Oogway, "Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift. That is why it is called the present." Kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, saat ini adalah anugerah, makanya disebut hadiah (gift = present).

Jangan biarkan diri kita dihalangi oleh kegagalan masa lalu dan ketakutan masa depan. Ayo berjuanglah di masa sekarang yang telah dianugerahkan Tuhan padamu.

3.Kamu tidak akan bisa mengembangkan orang lain, sebelum kamu percaya dengan kemampuan orang itu, dan kemampuan dirimu sendiri.

Master ShiFu ogah-ogahan melatih Po . Ia memandang Po tidak berbakat. Kalaupun Po bisa, mana mungkin ia melatih Po dalam waktu sekejap. Kondisi ini berbalik seratus delapan puluh derajat, setelah ShiFu diyakinkan Master Oogway -gurunya- bahwa Po sungguh-sungguh adalah Pendekar Naga dan Shi Fu satu-satunya orang yang mampu melatihnya.


Sebagai guru atau orang tua, hal yang paling harus dihindari adalah memberi label bahwa anak ini tidak punya peluang untuk berubah. Sangatlah mudah bagi kita untuk menganggap orang lain tidak punya masa depan. Kesulitan juga acap kali membuat kita kehilangan percaya diri, bahwa kita masih mampu untuk membimbing mereka.

4. Tiap individu belajar dengan caranya sendiri dan motivasinya sendiri.


Shi Fu akhirnya menemukan bahwa Po baru termotivasi dan bisa mengeluarkan semua kemampuannya, bila terkait dengan makanan. Po tidak bisa menjalani latihan seperti 5 murid jagoannya yang lain..

Demikian juga dengan setiap anak. Kita ingat ada 3 gaya belajar yang kombinasi ketiganya membuat setiap orang punya gaya belajar yang unik. Hal yang menjadi motivasi tiap orang juga berbeda-beda. Ketika kita memaksakan keseragaman proses belajar, dipastikan akan ada anak-anak yang dirugikan..

5. Kebanggaan berlebihan atas anak/murid/diri sendiri bisa membutakan mata kita tentang kondisi sebenarnya, bahkan bisa membawa mereka ke arah yang salah.


Master ShiFu sangat menyayangi Tai Lung, seekor macan tutul, murid pertamanya, yang ia asuh sejak bayi. Ia membentuk Tai Lung sedemikian rupa agar sesuai dengan harapannya. Memberikan impian bahwa Tai Lung akan menjadi Pendekar Naga yang mewarisi ilmu tertinggi. Sayangnya Shi Fu tidak melihat sisi jahat dari Tai Lung dan harus membayar mahal, bahkan nyaris kehilangan nyawanya.


Seringkali kita memiliki image yang keliru tentang diri sendiri/anak/ murid kita. Parahnya, ada pula yang dengan sengaja mempertebal tembok kebohongan ini dengan hanya mau mendengar informasi dan konfirmasi dari orang-orang tertentu. Baru-baru ini saya bertemu seorang ibu yang selama 14 tahun masih sibuk membohongi diri bahwa anaknya tidak autis. Ia lebih senang berkonsultasi dengan orang yang tidak ahli di bidang autistik. Mendeskreditkan pandangan ahli-ahli di bidang autistik.

Dengan sengaja memilih terapis yang tidak kompeten, agar bisa disetir sesuai keinginannya. Akibatnya proses terapi 11 tahun tidak membuahkan hasil yang signifikan. Ketika kita punya image yang keliru, kita akan melangkah ke arah yang keliru.

6. Hidup memang penuh kepahitan, tapi jangan biarkan kepahitan tinggal dalam hatimu.

Setelah dikhianati oleh Tai Lung, Shi Fu tidak pernah lagi menunjukkan kebanggaan dan kasih sayang pada murid-muridnya.

Sisi terburuk dari kepahitan adalah kita tidak bisa merasakan kasih sayang dan tidak bisa berbagi kasih sayang.

7.Keluarga sangatlah penting.

Di saat merasa terpuruk, Po disambut hangat oleh sang ayah. Berkat ayahnya pula Po dapat memecahkan rahasia Kitab Naga dan menjadi Pendekar nomor satu. Sudahkah kita memberi dukungan pada anggota keluarga kita?



Sumber: tidak jelas, dari milist ke milist

Sunday, June 29, 2008

Top 10 Indonesia

7 Sept 2008

1. Detik (Tuk Dikenang)
The Video
2. Biarkanlah
Animo
3. Tak Bisa Memiliki
Samsons
4. Beauty Is You
Abdul
5. Player
Pasto
6. Baiknya
Ada Band
7. Ajari Aku
Adrian Martadinata
8. Tergila
Twenty First Night
9. Malaikat Juga Tahu
Dewi Lestari
10. Walau Habis Terang
Peterpan


Source: hardrockfm.com

Tuesday, June 17, 2008

Konsep Rasulullah terhadap Perbedaan

Oleh Nasaruddin Umar

Perbedaan adalah sunnatullah. Perbedaan (diversity) merupakan manifestasi keagungan Tuhan. Bagaimana dari Sosok Yang Maha Esa lahir beraneka ragam substansi, esensi, bentuk, sifat, dan warna. Konfigurasi warna-warni dan keragaman ciptaan Tuhan melambangkan keindahan, kekayaan, keluasan, kebesaran, dan keagungan Tuhan. Meskipun beraneka ragam warna dan bentuk, makhluk-makhluk tersebut tetap merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai makhluk makrokosmos yang terpancar dari Sang Khalik, yang dalam bahasa tasawuf perenial disebut dengan the oneness of being(wahdatul wujud). Kemajemukan dari segala sesuatu yang ada tidak mungkin bertentangan atau dipertentangkan dengan kesatuan wujud, karena sebagaimana dikatakan Ibn Arabi, wahdatul wujud merupakan kesatuan wujud untuk menggambarkan non-entifikasi absolut dan Esensi Tak Terbedakan.

Perbedaan pendapat bagi manusia adalah bagian yang inheren dengan kemajemukan ciptaan Tuhan. Dari sinilah Rasulullah pernah mengungkapkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat (ikhtilaf baina ummati rahmah). Al Qur'an juga sejak awal menginformasikan bahwa komunitas manusia tidak mungkin bisa menjadi suatu kesatuan yang homogen. "Jika Tuhanmu menghendaki niscaya Ia akan menjadikan manusia sebagai satu umat" (Q.S. Hud/11:118). Ayat ini menggunakan huruf lau (pengandaian), bukannya menggunakan huruf posibilitas berupa in atau idza. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sejak semula manusia diciptakan untuk menjadi makhluk yang heterogen. Namun, di tengah heterogenitas itu dimungkinkan terbentuknya umat homogen yang dipersatukan oleh suatu visi dan misi khusus dan yang seperti inilah diperintahkan di dalam Qur'an dalam istilah "umat ideal"/khaira ummah (Q.S. Ali 'Imran/3:104 & 110).

Konsep khaira ummah inilah yang menjadi obsesi besar Rasulullah sejak awal. Kita tahu bahwa komunitas masyarakat tempat Al Qur'an diturunkan (jazirah Arab) adalah masyarakat kabilah (tribal society). Dalam masyarakat ini tidak ada civil society karena promosi karier kepemimpinan hanya bergulir di lingkungan orang dalam para raja/penguasa laki-laki. Masyarakat lain dan perempuan tidak mungkin mengakses kepemimpinan dunia publik, sehebat apapun prestasi orang itu. Islam datang merombak sistem masyarakat kabilah menjadi masyarakat ummah, yang mengacu kepada konsep keadilan ('adalah), toleransi (tasamuh), persamaan (musawa), dan profesionalisme (ihtiraf). Siapapun yang memiliki syarat itu, jenis kelamin apapun, etnik apapun, suku dari manapun, dan dari golongan manapun berhak mengakses berbagai prestasi yang layak untuknya, sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Hujurat/49:13.


Prinsip Pluralitas

Dalam upaya mewujudkan dan sekaligus memperkenalkan konsep khairah ummah di dalam pluralitas masyarakat, Nabi berpegang teguh kepada prinsip-prinsip dasar Al Qur'an dan membawanya dikenang sebagai tokoh universal kemanusiaan dari segala zaman. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

Pertama, Al Qur'an menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, sungguh pun umat Islam terlibat sebagai subyek atau obyek dalam persoalan tersebut: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (Q.S. al-Maidah/5:8). Ayat ini mengisyaratkan betapa pentingnya keadilan itu dan betapa perlunya jiwa besar dalam mewujudkan keadilan itu. Tidak dibenarkan rasa keadilan dikorbankan demi kepentingan subyektifitas.

Kedua, Al Qur'an sama sekali tidak menolerir pembinasaan diri sendiri dalam mencapai tujuan, sesuci apapun tujuan itu: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Baqarah/2:195). Menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan, apalagi dengan sengaja mengorbankan diri dan orang lain yang tak berdosa, tidak pernah dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Jihad yang dilakukan Rasulullah tidak pernah mengenyampingkan pertimbangan ijtihad (rasional) dan pertimbangan mujahadah (nurani). Jihad yang kehilangan dimensi ijtihad dan mujahadah dapat dikategorikan dengan nekat.

Ketiga, Al Qur'an menolerir fleksibilitas dalam memperjuangkan sebuah cita-cita: Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu, dan masuklah dari pintu-pintu yang berbeda-beda. (Q.S. Yusuf/12:67). Sungguh indah maksud ayat ini, memberikan peluang kepada setiap orang untuk menempuh jalan yang berbeda-beda dalam mengekspresikan pendapat masing-masing tentunya di dalam kerangka dasar yang sama.

Keempat, Al Qur'an tidak menolerir pemaksaan kehendak dalam mencapai tujuan, khususnya pemaksaan kehendak keagamaan terhadap orang lain: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (Q.S. al-Baqarah/2:256). Rasulullah panutan kita hanya ditugasi menyampaikan dakwah dengan bijaksana, tidak untuk memaksa orang lain mengikuti ajaran agamanya. Kita tentu berharap agar berbagai pihak tidak terlalu jauh menyeret ayat-ayat Al Qur'an untuk melegitimasi pola prilaku yang justru tidak sejalan dengan tujuan utama (maqashid al-‘ammah) Al Qur'an itu sendiri. Urusan keyakinan adalah urusan Allah Swt: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (Q.S. al-Qashahsh/28: 56)

Kelima, Al Qur'an lebih mengedepankan persatuan dan kesatuan serta kebersamaan ketimbang perbedaan, apalagi permusuhan: Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. (Q.S. Ali 'Imran/3: 64). Isyarat ayat ini senada dengan rumusan yang telah dirumuskan oleh the founding father bangsa kita: Bhinneka Tunggal Ika, bercerai berai tetapi tetap satu, karena adanya common platform yang sama, yaitu kepentingan untuk menjadi sebuah bangsa yang ideal, baldatun thayyibah wa Rabbun gafur (negeri yang indah penuh ampunan Tuhan).

Keenam, Al Qur'an menekankan perlunya kita bersikap kritis terhadap berbagai informasi yang diperoleh: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. al-Hujurat/49: 6).

Ketujuh, Al Qur'an juga mewanti-wanti kita untuk tidak menjadi sumber kericuhan atau provokator di dalam masyarakat: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. (Q.S. al-Hujurat/49:12).

Kedelapan, menghindari perpecahan di dalam masyarakat dengan menghindari berbagai sifat-sifat yang tidak terpuji, seperti di dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. (Q.S. al-Hujurat (49): 12).

Terakhir, menekankan substansi persatuan di dalam masyarakat, bukannya menonjolkan perbedaan, seperti dalam firman Allah: Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. (Q.S. Ali 'Imran (3): 64).

Kesembilan prinsip dasar ini merupakan modal utama Rasulullah di dalam menyelesaikan berbagai konflik dan tantangan yang dihadapinya. Kita pun harus yakin bahwa dengan resep yang ampuh ini maka persoalah pluralitas masyarakat dapat di atasi dengan baik.


Rektor Institut PTIQ Jakarta


Sumber: Jurnal Nasional, 17 Juni 2008

Thursday, June 12, 2008

World Important Days

January 1, World Peace Day, also New Year Day
February 2, World Wetland Day
March 21, World Forestry Day
March 22, World Water Day
March 23, World Meteorology Day
April 7, World Health Day
April 22, Earth Day
May 31, World Non-Smoking Day
June 1, International Children Day
June 5, World Environmental Day
June 16, Father's Day
June 17, World Combat Day to Desertification and Drought
July 11, World Population Day
July 28, World Nature Conservation Day
August 12, International Youth Day
September 16, World Ozone Layer Preservation Day
October 3, World Habitat Day
October 5, World Teachers' Day
October 13, International Reduction of the Natural Disasters Day
October 16, World Feeding Day
December 25, Christmas Day
December 26, Boxing Day
December 29, International Biodiversity Day

Monday, May 26, 2008

Rice Fact File

Origin—Domesticated in Africa (Oryza glaberrima) and Asia (Oryza sativa). Several centres of origin have been proposed for O. sativa, including India and northern Thailand. Evidence points to the Yangzi Valley in southern China as one site of origin for domesticated rice.

Botany—Rice is a grass (Gramineae) and belongs to the genus Oryza (meaning oriental). Oryza sativa is grown in a wide range of environments from the equatorial tropics to sub tropical mid-latitudes, from lowland paddy fields to high altitude terraces, and from swamps toupland rice fields.

Cultivars—Since the introduction of modern varieties in the 1960s, most paddy rice farmers cultivate short straw, nitrogen (N)-responsive varieties with multiple pest resistance. Local varieties are more common in upland, rainfed, and deep-water rice environments. Improved germplasm for some of these environments is now available.

Harvest part—In upland rice fields, the ripe panicle is removed with a special knife concealed in the palm of the harvester’s hand, and straw is left standing. In paddy rice fields, rice is harvested with a sickle or mechanical harvester, and the panicle together with a portion of the stem is removed. The amount of stem removed depends on the threshing method used and farmer requirement for straw as livestock bedding, fuel or mulch.

Life cycle—The growing season of some traditional varieties is about 260 days, but is between 90 to 110 days for most modern varieties. Shortening the growing season is a key factor in increasing cropping intensity (crops/ha/yr). Crop maturation is extended under conditions where phosphorus (P) or other nutrients are deficient.

Maximum yield—At present, the genetic yield barrier for inbred varieties in irrigated rice systems is about 10 t/ha. Under best management practices in favourable environments, farmers are able to achieve yields of greater than 8 t/ha. To meet future food demand, short duration varieties with a yield potential of 15 t/ha will be required. Some researchers argue that the rice plant’s radiation conversion factor of 2.6 to 2.9 g/MJ (megajoule) may not be sufficient to reach such yields. The possibility of incorporating C4 plant physiological characteristics into rice to increase yield potential is presently under consideration.

Nutrient removal—Nutrient balance is strongly affected by straw management.
Straw contains more than 85 percent of the potassium (K) contained in the above-ground biomass. Thus, much greater amounts of K must be applied to maintain the soil supply where straw is removed from the field. Removal of N and P is mostly associated with grain harvest.

Micronutrient requirements—Rice often requires zinc (Zn) in alkaline soils and soils containing very large concentrations of organic matter. Copper (Cu) is usually required to prevent male sterility in rice grown on peat soils.

Fertilizer nutrient recovery efficiency—In irrigated lowland rice fields with good crop management and grain yields of 5 to 7 t/ha, typical fertilizer recovery efficiencies are 30 to 60 percent for N, 10 to 35 percent for P, and 15 to 65 percent for K. Recovery efficiency for N and K is strongly influenced by splitting and timing of fertilizer applications.

Planting density and canopy management—Optimal planting density depends on the crop establishment method and variety (tillering capacity).
In transplanted rice, a plant spacing of 0.2 x 0.2 m gives 250,000 hills/ha. In direct seeded paddy rice, rates range from 60 to 80 kg seed/ha. In upland rice, seed is dibbled into evenly spaced planting points, and seed rates are lower, ranging from 30 to 35 kg/ha. Excessive early canopy development (seeding/transplanting to early tillering) may result in a very leafy canopy that is more susceptible to pest and disease infestation. Proper splitting and timing of N fertilizer applications are required to produce an optimal canopy without incurring pest and disease damage.

Climatic requirements—In paddy rice, maximum yields are obtained in the dry season, when cloud cover is less and photosynthetic active radiation (PAR) is greater than during the wet season. In irrigated rice, rainfall is not important, provided the irrigation water supply is reliable and sufficient in quantity. In rainfed and upland rice, rainfall is a major yield determinant, particularly in coarse textured soils with poor water retention.

Soil requirements—In upland and rainfed rice, soil structure and fertility are major yield determinants because the amount of mineral fertilizer used is often small. In irrigated rice, soil structure is deliberately destroyed during land preparation. The effect of flooding generally improves nutrient availability and reduces the effects of very alkaline or acid soil conditions on plant growth that occurs under aerobic conditions. In high yielding environments where modern varieties are used, the difference between the soil’s indigenous nutrient supply and crop nutrient demand must be provided in the form of mineral fertilizer.

Source: Better Crop International

Tuesday, May 20, 2008

Mira Ingin Film Laskar Pelangi Bernilai Memuaskan Plus

JAKARTA,SENIN - Penggarapan film Laskar Pelangi, yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata akan dilakukan pada 25 Mei. Mengandalkan kemampuan sutradara Riri Riza, Mira Lesmana, sang produser, berharap film ini lebih dari sekadar memuaskan para fans novelnya untuk melihat film serupa dengan cerita dalam novelnya.

"Novel dan film itu medium berbeda. Mengangkat novel Laskar Pelangi ke layar lebar, saya ingin memastikan bahwa film jadi suatu kekuatan yang harus kita pakai untuk mengembangkan novelnya. Orang berharap ada sesuatu yang plus di film dan Riri memiliki idealismenya sendiri," tukas Mira dalam acara press briefing film Laskar Pelangi di Jakarta, Senin (19/5).

Film yang akan menghabiskan biaya sebesar Rp 7 miliar ini memang mendatangkan kebahagiaan tersendiri pada Mira Lesmana selaku produseri. Mira mengaku, sejak novel itu terbit 2004, baru dua tahun terakhir ia memikirkannya dengan serius.

"Aku dikasih bukunya tahun 2005 oleh Mas Kris dari Bentang, tapi waktu itu aku lagi sibuk sama Soe Hok Gie. Baru pas tahun 2006 dikasih tahu Mizan, kalaupun Laskar Pelangi mau difilmkan, lebih baik Miles yang megang, menurut mereka," ujar Mira Lesmana dalam acara yang juga dihadiri Andrea Hirata dan para aktris dan aktor pendukung film ini..

Miles Production juga memanfaatkan acara press briefing ini untuk mengadakan syukuran sebelum dimulainya syuting di Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Syukuran ditandai dengan pemotongan tumpeng oleh Mira dan Riri Riza juga disaksikan oleh aktris dan aktor pendukung Laskar Pelangi, di antaranya Cut Mini, Slamet Rahardjo, Ikranegara, Alex Komang, Mathias Muchus, Teuku Rifnu, Aryo Bayu dan penulis novel, Andrea Hirata.

Aktor dan sutradara senior Slamet Rahardjo didaulat untuk memimpin renungan singkat dalam suasana hening. renungan tersebut secara khusus ditujukan untuk mengenang kepergian salah satu aktor senior Indonesia, Sophan Sophian, yang meninggal pada 17 Mei lalu.

Saat itu Cut Mini, yang kebagian peran tokoh Ibu Guru Mus, yang sangat sabar dan penuh pengertian terlihat sempat menitikkan air mata. Cut Mini mengaku sangat bersyukur dipercaya memerankan tokoh mulia seperti Ibu Mus.

"Saya juga ingin segera bertemu dengan sepuluh anak saya (pemeran anak asli Belitong). Saya merindukan mereka yang lucu-lucu. Saya mengucapkan terima kasih, terima kasih untuk semua pihak yang mengajak saya terlibat. Rasa bangga saya tidak bisa dikatakan," tukas Mini sambil terisak.

Film yang dibiayai oleh "B" Edutainment dan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) ini rencananya akan beredar di bioskop seluruh Indonesia pada liburan Lebaran mendatang.

LIN

Sumber: Kompas

Tuesday, May 13, 2008

TV Streaming Indonesia

Indonesian TV Streaming (RCTI, Trans TV, SCTV, Metro TV, Trans 7)

Do you want to watch Indonesian TV but you live in outside Indonesia?... Now, you can enjoy Indonesian TV programs with live streaming TV. Anyway you can still watch Indonesian TV with indline.

Beside that In many Indonesian forum, some people find how to watch Indonesian TV channel via internet. Some many ways to watch Indonesian TV online. For Metro TV and Trans TV You can watch Indonesian TV channel with Windows media player.
You can open url below to watch metro or Trans TV:

Metro TV
mms://202.171.25.216/metro

Trans TV
mms://202.171.25.216/transtv

If you want to watch RCTI and SCTV you need using Real player. After you install Real player you can open url below:

SCTV
rtsp://202.58.181.185/broadcast/sctv
RCTI
rtsp://202.58.181.185/broadcast/rcti

Other way to watch Indonesian TV, you can go to http://www.imediabiz.tv/ . On that sites you can watch Jaktv, RCTI, SCTV, Trans 7, Metro TV, Trans TV and
Indosiar. This blog is not affiliated with that url and maybe you will get low quality sound and picture. Sometimes it can't work. But I think you must try it yourself.


Get your player:

Saturday, April 19, 2008

Kun Fayakun (The Movie)



GENRE : Drama Keluarga Religius
PEMAIN : Agus Kuncoro, Desy Ratnasari, Zaskia A. Mecca, Andre Stinky, Opick
SUTRADARA : H. Guntur Novaris
PENULIS NASKAH : H. Yusuf Mansur, H. Guntur Novaris
PRODUSER : H. Yusuf Mansur, H. Guntur Novaris
RUMAH PRODUKSI : PUTAAR PRODUCTION
KLASIFIKASI PENONTON : 13 Tahun Keatas (13+)
TANGGAL RILIS : 17 April 2008 (Serentak di seluruh Bioskop 21)

SINOPSIS :
Ardan (diperankan Agus Kuncoro) seorang tukang kaca keliling. Hidupnya sangat sederhana tetapi ia tetap gigih berjuang, sabar, tabah dan selalu ikhlas apapun cobaan diberikan kepadanya. Itikadnya tetap bulat untuk mewujudkan impiannya agar keluarganya hidup layak. Keinginanya pun sangat bersahaja, ia ingin mengganti gerobaknya dengan sebuah kios.

Beruntung Ardan mempunyai seorang istri ( diperankan Desi Ratnasari) yang setia dan taat kepada suami dan Tuhannya. Dia juga tak pernah luput mendoakan dan menanti dengan setia kedatangan Ardan sepulangnya dari berjualan kaca keliling. Senyumannya yang khas selalu dihadirkannyan untuk membesarkan hati Ardan. Tutur katanya pun sangat bijak, sehingga menyejukan semua orang termasuk kedua buah hati mereka.

Sampai ketika keyakinan itu berada pada titik nadir, namun justru sesuatu terjadi pada keluarga tersebut dari arah yang tidak terduga.

Lebih jauh look at:

http://www.wisatahati.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=69
http://www.wisatahati.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=79
http://www.wisatahati.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=75
http://www.wisatahati.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=78

Friday, April 18, 2008

Presiden Janji Naikkan HPP

Purworejo, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji menaikkan harga pembelian pemerintah atau HPP untuk gabah dan beras. Namun, harga beras harus tetap dapat dijangkau oleh masyarakat.

Presiden menegaskan hal itu di sela-sela panen raya perdana padi varietas baru, Super Toy HL-2, di Desa Grabag, yang terletak 20 kilometer sebelah selatan Kecamatan Purworejo, ibu kota Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Kamis (17/4).

Dalam dialog dengan Presiden, sejumlah petani mengeluhkan rendahnya harga jual gabah dan beras petani. Hal itu memberatkan petani karena harga pupuk telah membubung. Para petani berharap pemerintah meningkatkan HPP beras dan gabah atau meningkatkan subsidi.

HPP untuk gabah kering panen (GKP) saat ini Rp 2.000 per kilogram (kg), dan gabah kering giling (GKG) Rp 2.575 per kg. HPP beras Rp 4.000 per kg.

Selain menjanjikan kenaikan HPP, Presiden juga menjanjikan pengendalian harga pangan agar tidak terlalu tinggi.

Di luar mengendalikan harga, menurut Presiden, kebijakan pangan yang dilakukan pemerintah antara lain meningkatkan produksi, kecukupan cadangan beras Bulog, perbaikan pendapatan petani, dan harga pangan yang terjangkau konsumen.

Pengamanan stok pangan

Lebih jauh Presiden Yudhoyono menjelaskan, Indonesia telah mencapai swasembada beras, gula, jagung, telur, dan daging ayam. Meski begitu, belum ada dorongan untuk melakukan ekspor. Pengamanan stok pangan nasional lebih diutamakan.

Adapun untuk kedelai dan daging sapi, Presiden optimistis dalam tiga tahun mendatang kebutuhan nasional akan dicukupi oleh produksi dalam negeri.

Untuk meningkatkan produksi pangan, Presiden menginstruksikan agar lahan telantar dimanfaatkan. Saat ini ada sekitar tujuh juta hektar lahan yang telantar. Dari lahan yang telantar itu, sekitar 1,7 juta hektar di antaranya berstatus hak guna usaha.

”Saya minta lahan yang telantar ditertibkan, dan digunakan untuk pertanian,” katanya.

Presiden juga mendukung pengembangan padi varietas baru, Super Toy HL-2, yang ditargetkan dapat dipanen tiga kali per tahun, tanpa perlu menanam ulang bibit. Kapasitas panen ditargetkan 15,5 ton gabah per hektar. Padi ini sebelumnya ditanam di Bantul dan Kulon Progo di Yogyakarta.

Menanggapi kehendak pemerintah menaikkan HPP gabah dan beras, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo menyatakan sepakat. ”Hanya kenaikan HPP untuk gabah dan beras sebaiknya dilakukan sebelum panen padi musim gadu, yakni sebelum Juni-Juli 2008,” kata Siswono.

Jika kenaikan HPP dilakukan setelah panen gadu, hal itu sama saja tidak akan dirasakan petani karena panen pada musim kemarau tidak banyak lagi. ”Itu artinya kenaikan HPP baru efektif dirasakan petani pada panen raya tahun depan,” ujarnya.

Siswono menjelaskan, tanpa pemerintah menaikkan HPP, harga gabah dan beras secara riil sudah naik. Ada tiga kategori harga beras saat ini, yakni harga sesuai HPP, harga riil di pasaran, dan harga di pasar dunia yang sudah mencapai 680 dollar AS per ton, atau Rp 6.300 per kg.

Kenaikan HPP, menurut Siswono, untuk saat ini lebih berdampak terhadap Bulog. ”Kalau HPP tetap pada posisi sekarang, Bulog tidak akan bisa membeli beras. Kalaupun bisa, kualitasnya akan di bawah standar,” katanya.

Isu global

Kenaikan harga pangan, khususnya beras, telah menjadi isu global. Hal ini, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Ahmad Suryana, terungkap dalam pertemuan Board of Trustees IRRI (Lembaga Penelitian Beras Internasional) di Manila, 7-11 April. ”Naiknya harga pangan memukul negara importir beras, seperti Banglades, Filipina, dan sejumlah negara Afrika,” kata Suryana.

Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dibandingkan dengan Vietnam, Thailand, dan negara-negara pengimpor beras, Indonesia paling siap menghadapi lonjakan kenaikan harga beras dunia. ”Setidaknya lebih siap sampai bulan-bulan ini,” katanya

Bambang Soesatyo, Ketua Komite Tetap dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, menyatakan, Kadin telah mengingatkan pemerintah tentang ancaman inflasi pangan dunia. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk mengantisipasi ekses kenaikan harga pangan dan juga energi di pasar global.

Kasus di Cirebon

Subdivisi Regional (Subdivre) Perum Bulog Cirebon memperketat pengawasan penyerapan beras petani karena ditemukan adanya penjualan beras asal Cirebon ke Kalimantan dengan harga beli di atas HPP. Ini didorong oleh kekhawatiran ekses penjualan ke luar Jawa atau ekspor ilegal akan mengganggu pengadaan beras Bulog.

Kepala Subdivre Cirebon Slamet Subagyo mengatakan, tim sosialisasi, monitoring, dan evaluasi Bulog menemukan bukti adanya sejumlah pedagang yang membeli beras petani dengan harga di atas HPP untuk dijual ke Kalimantan. Harga beli mereka berkisar Rp 4.150 per kg, sedangkan harga beli Bulog sesuai dengan HPP Rp 4.000 per kg.

”Para pedagang beras sistemnya door to door ke tempat penggilingan gabah, membeli beras dengan tunai Rp 4.150 per kg. Beras itu dikirim ke Kalimantan dengan kapal kayu dari pelabuhan Cirebon,” ujar Subagyo.

Tim menemukan pedagang membeli beras dari penggilingan Rp 4.100-Rp 4.150 per kg, yang akan dijual kembali Rp 4.300 per kg. Jumlah beras yang dikirim ke Kalimantan mencapai 800 ton. 
(LKT/EGI/OSA/MAS/ MKN/SIR/THT/ANG)

  
Sumber: Kompas Jum'at 18 April 2008

Wednesday, April 16, 2008

Asal Usul: Musik

Oleh Suka Hardjana

Tanpa musik hidup hanyalah kekacauan, kata Nietzche. Sang filsuf juga bilang, musik itu pencerahan. Musik adalah penghiburan, kata Camus. Tak pernah ada orang bilang, musik itu jelek. Para ahli komunikasi kontemporer bahkan percaya, musik adalah medium komunikasi tak tersulihkan saat ini.

Saya bilang, musik, film, dan sepak bola adalah ikon peradaban abad ke-20 dan masa kini. Siapa unggul dalam ketiga ikon peradaban modern itu akan memiliki akses tak tergantikan dalam penyebaran kekuatan pengaruh pencitraan diri kepada orang lain. Pengaruh positif pencitraan diri tidak direbut melalui keperkasaan politik persenjataan (pertahanan) dan politik dagang (trik ekonomi).

Kemakmuran—betapa pun vitalnya—tak akan mudah merebut hati rakyat. Massa awam yang disebut rakyat di mana pun mudah trenyuh oleh ketiga pesona ikon peradaban itu—musik, film, dan sepak bola. Orang-orang Afrika, Amerika Latin, dan Eropa Timur paham betul dengan pengaruh sugesti ketiga elemen budaya massa itu. Bola dikejar, layar disimak, dan bunyi didengar adalah pantun kegiatan sehari-hari mereka.

Tetapi karena elemen dasar materinya, yaitu bunyi, musik mempunyai kekuatan pengaruh sugesti tersembunyi yang tak terelakkan. Bunyi itu penetratif dan sugestinya merembus ke seluruh spektrum kesadaran—dalam gelap maupun terang—bak benda cair merembes ke ranah dataran benda padat. Ia tak terelakkan (unverhindem), bahkan juga untuk mereka yang tuli dan hilang ingatan sekalipun. Getaran frekuensi dan gelombang bunyi yang menjadi wahana primer seni bunyi (musik) menggelitik seluruh jaringan susunan syarat dan aliran darah serta cairan dalam tubuh makhluk hidup, termasuk hayat tumbuh-tumbuhan. Orang tuli tak mendengar (musik), tetapi menghayati kesadaran (meng-grahita) fenomena seni bunyi itu. Hanya keterbatasan kesadaran dan kecerdasan (inteligensi) yang memungkinkan terjadinya kendala terhadap persepsi keluasan seni bunyi yang disebut musik. ”Manusia bebal tak mengenal musik tinggi,” kata dirigen, musikolog, dan kritikus musik Jerman, Hans von Bulow, di abad silam.

Bukan hal baru bahwa musik dijadikan medium komunikasi sambung rasa di antara sesama. Dalam ranah politik diplomasi tak jarang musik menjadi alat pendekatan ampuh untuk menjembatani saling keterasingan, saling curiga, atau bahkan sifat saling mengancam dan bermusuhan di antara dua komponen liyan yang berseberangan.

Pada episode terakhir perang dingin tahun 1978 saya berkesempatan menyaksikan konser akbar Orkes Philhamoni Leningrad dari Uni Soviet di kota Toledo-Ohio, Amerika Serikat. Orkes dengan pimpinan dirigen legendaris Dmitry Kutienko dan solis biolin Victor Tretjakoff mendapat sambutan ekstra antusias dalam tur mereka di pusaran negeri kapitalis Amerika Serikat. Mereka memainkan seni musik tinggi karya pujangga besar musik Rusia Tschaikowski, Borodin, Kachaturian, Prokevieff, dan Schostakowitsch, yang adalah representan utama ideologi seni komunis di negeri tirai besi itu. Sebaliknya, pada tahun 1958 pianis muda brilian Amerika Serikat, Van Clibum (23), secara sensasional memenangi juara pertama lomba musik internasional, Kompetisi Piano Tschaikowski, di kota Moskwa. Van Cliburm lantas dikelilingkan ke segenap penjuru dunia sebagai duta perdamaian dan—tentu saja—sekaligus sebagai simbol superioritas Amerika atas pesaingnya.

Kini sejarah berulang. Perseteruan nuklir antara Amerika dan Korea Utara tak kunjung surut. George W Bush mendedah Korea Utara sebagai Setan Poros Kejahatan. Kim Yong Il bergeming. Korea Utara menghujat Amerika sebagai Imperialis Tengik Penjahat Kapitalisme. Segala upaya perundingan penuh siasat basa-basi perdamaian dilakukan—masing-masing melibatkan sekutu terdekat yang diharapkan bisa menetralisir dan menjembatani kedua belah pihak yang tatap sengketa secara langsung. Jalan buntu. Perseteruan yang telah berumur lebih dari setengah abad dilanggengkan!

Bujukan budaya lantas dilakukan—sebagai upaya terobosan damai. Tak kepalang tanggung. Awal pekan lalu selama 2 x 24 jam dirigen kenamaan Lorin Maazel beserta megasimfoni The New York Philharmonic Orchestra (NYPO) secara damai dan penuh persahabatan menginvasi langsung ke pusat jantung pertahanan Korea Utara, dengan ibu kota Pyongyang. Mereka memainkan karya George Gershwin (Amerika, 1898-1937) An American in Paris (1923), karya Antonin Dvorak (Ceko, 1841-1904) Symphony Nr 5 in Eminor op 95-From the New World (1892), dan karya Richard Wagner (Jerman, 1813-1883) Prelude dari babak ketiga opera Lohengrin (1850).

Saya kenal betul ini orkes simfoni. Saya menjulukinya sebagai menara tertinggi di kota New York dan pencakar langit musik dunia bersama orkes Philharmonia Berlin, London, Paris, Vienna, Moskwa, dan Petersburg (Leningrad). New York Philharmonic selalu tampil brilian dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan bagi pendengarnya. Tahun 1984 orkes ini pernah tampil di Jakarta dengan dirigen legendaris yang macho karismatik Zubin Mehta dan batal tampil kembali di Jakarta dengan pimpinan maestro Kurt Masur gara-gara kemelut huru-hara lengsernya Soeharto, Mei 1998.

Musik punya kekuatan. Muhibah The NYPO pasti telah meninggalkan kesan yang mendalam bagi publik Korea Utara. Walau efeknya mungkin tak akan berpengaruh secara politis, dalam konteks humanitarian konser The NYPO niscaya memberi siraman persahabatan dan kemanusiaan bagi orang Korea yang hayatan musikal dan intelegensinya tidak bebal seperti George W Bush dan Kim Yong Il. Antara persepsi publik (common sense) dan pendirian elite politik (kekuasaan) adalah dua hal yang tidaklah harus selalu identik. Damailah mereka yang tidak bebal. Musik lebih baik daripada perang dan perseteruan!

Sumber: Kompas Minggu, 2 Maret 2008

Recent Post