Sunday, April 13, 2008

Suara Hati dari Nada Tujuh

Kritik Sosial Iwan Fals: Suara Hati dari Nada Tujuh

Oleh Franky Sahilatua

“The fault, dear Brutus is not in our’s star, but in our self”.
(Kesalahan itu sobat Brutus, bukan karena tokoh kita, melainkan diri kita”, William Shakespearre, III, i)

PENGADILAN MORAL BIN BANGSA

Kemarin malam -- 30 Oktober 2002 -- saya menyanyi di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saya diatur untuk menyanyikan lagu “Perahu Retak” hanya karena refrain lagu itu memprovokasi tuntutan atas ketidakadilan dengan nafsu yang seronok: “Aku heran, aku heran, yang benar disingkirkan...” Lagu Iwan Fals “Suara Hati”, juga tak ketinggalan masuk dalam “skenario” pertunjukan itu.

Mereka -- anak-anak muda dari Teater Kaisar itu -- dalam rangka Hari Sumpah Pemuda, bersama sejumlah Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) pusat, sedang mementaskan naskah “Pengadilan Moral Bin Bangsa”, black-comedy karya Djoko Edhi S Abdurrahman -- dari Pemuda Muhammadiah -- yang sekaligus bertindak selaku sutradaranya. Bagus, dari sisi pertunjukan, drama itu sukses, dihadiri Menaker, para Dirjen Depsos dan Diknas, perwira tinggi Mabes Polri, tokoh agama, Seniman TIM, OKP, dan Mahasiswa IKJ.

Saya ingin mengulas tentang “Suara Hati” dari substansi yang saya tangkap dari drama itu, syairnya sbb: Apa kabar suara hati//Sudah lama baru terdengar lagi//Kemana saja suara hati//Tanpa kau sedih rasanya hati//Kabar buruk apa kabar baik//Yang kau bawa mudah-mudahan baik//Dengar-dengar dunia lapar//Lapar sesuatu yang benar//Suara hati kenapa pergi//Suara hati jangan pergi lagi//.

Menurut cerita drama dengan tematik “Pengadilan Moral bin Bangsa” itu, tokoh Moral bin Bangsa yang dihukum mati, adalah suara hati. Moral bin Bangsa, merupakan personifikasi akhlakul karimah (ahklak mulia) yang secara beramai-ramai terbunuh oleh sistem dan habitat angkara murka (moral hazard dimulai sejak demokrasi di Indonesia diusung 1998.

Itu memang bukan ihwal sederhana. Bukan Iwan Fals dan Teater Kaisar saja yang resah atas masalah serupa. Rasanya seluruh bangsa Indonesia, secara langsung pun tak langsung, juga tengah gundah gulana menyaksikan perilaku aksiologis, sistem nilai kita yang terus-menerus dirusak berramai-ramai dan terus-menerus pula membunuh suara hati, empat tahun belakangan.

Siapa gerangan Suara Hati? Saya ingin mengajak semua untuk mengenal siapa ia. Pernah ketika Anda berbohong, sekonyong-konyong ada suara dari dalam hati yang menegur Anda: “Kau berbohong!” Itulah suara hati. Ia tak mampu berdusta. Ia adalah suara ilahiah kita. Sepanjang ia masih bisa bicara, dipastikan bahwa Tuhan masih bersama Anda. Sebaliknya, ketika ia tak lagi bersuara, ia sudah ditaklukan Setan. Satu hal dari ciri suara hati, ia senantiasa mengajak kita ke moral mulia, hakikatnya penuntun ke kebenaran ilahiah.

Dalam konteks tauhid sosial, kebenaran ilahiah seperti itu, dalam preferensi moral kebangsaan sebagai produk suara hati itu, kian hari kian memprihatinkan untuk bisa diharap mampu memulihkan krisis kondisi bangsa.

Saya berpendapat bahwa suara hati adalah sillabus moral yang diajarkan langsung oleh Ilahi. Dengan cara pikir demikian, suara hati menjelma preferensi ilahiah sesungguhnya. Simpel, kita seringkali disuguhi bagaimana cara-cara kita berdemokrasi yang sangat mengandalkan pembenaran lewat legitimasi aturan main, sejak Tatib, UU, TAP MPR, hukum positif, terutama hukum pidana yang tak pernah mengajarkan moral kepada manusia kecuali menghukum, belaka cuma instrumen moderasi untuk memenangkan permainan tanpa menghiraukan aspek kepatutan moral, sehingga begitu banyak keanehan berlangsung di sekitar kita dewasa ini. Ada suatu yang salah pada kita!

Iwan dan Teater Kaisar berbeda menanggapi itu. Dalam Iwan, Suara Hati cuma pergi. Sedang dalam tragedi Kaisar, Suara Hati terbunuh: mengisahkan kepastian malapetaka atas moral yang terus memuncak.


NADA TUJUH

Dari sisi teknik musik, “Suara Hati” satu tipe dengan “Bento”, lagu Iwan terdahulu: jalur nada, atmosfir, lintasan melodi, sama-sama di E Minor, sama-sama menggunakan sound distortion, sama-sama bergenus rock n roll. Terpenting dari kesamaan itu, ialah sama-sama menggunakan Nada Tujuh yang lebih dikenal dengan julukan Not Satire.

Walau terdapat perbedaan bite – “Bento” dengan balada melodi blues “Suara Hati” dengan Cha-Cha melodi blues – tapi keduanya merujuk Nada Tujuh. Ketukan bass yang monoton pada kedua lagu itu, menyuguhkan daya transedental bagi pemirsanya, yang dapat dihubungkan dengan pembenaran teorema “Pusat Kesenangan Otak” dari pakar saraf otak Perancis, George Delgado.

Namun demikian, dalam konteks materi wacananya, perhatian saya didominasi kritik sosial lagu itu yang dikawal Nada Tujuh. Lalu, bagaimana Iwan merekam peristiwa, dan menyuarakannya kembali dengan irama yang pas dengan kejiwaan aktual publik.

Dari sejarahnya, Nada Tujuh memang media handal untuk lagu tipe-tipe itu. Jalur Nada Tujuh bersumber dari musik tradisional Afro-America, adalah musik para budak – musik orang-orang tertindas, yang sejak awal merupakan media protes dengan nada. Tercatat Elvis Prisley yang berguru kepada pemusik Nada Tujuh.

Iwan dengan canggih mengolah Nada Tujuh untuk mengisi teriakan-teriakan satir pada kedua lagu tadi. Lepas dari faktor itu, secara metode psikologi, ada tiga aspek yang menderma kekuatan pada lagu untuk mempengaruhi audiens. Yakni: (i) Amplitudo/Power, (ii) Attitude, dan (iii) Syair/kekuatan kata.

Kerasnya suara bunyi – termasuk jalur Nada Tujuh -- memiliki pengaruh kuat. Namun demikian, lebih penting lagi adalah kemampuan kondisi perilaku pemirsa untuk mengembangkan dirinya atas lagu-lagu tersebut. Kemudian makna syair. Dengan kata lain, syair merupakan kekuatan kata yang mampu menerbitkan identitas pemirsanya dalam kalimat-kalimat satire syair Iwan.

Dengan referensi itulah bagaimana cara memandang “Suara Hati” Iwan Fals. Pembungkusan akronim “Benci Soeharto” yang secara pikososiologis adalah issu aktual menjadi “Bento”, disampaikan dengan jalur Nada Tujuh, membuat “Bento” mencapai pasar luar biasa pada masanya sesuai iklim dan psikologi politik yang menyiar dari Cendana. Jadi ada pengolahan aktualitas yang jitu.

Iwan dengan lihai mengolah kembali ide-ide pada “Bento” dalam “Suara Hati” tatkala semua orang resah dengan perilaku elit bangsa yang krisis suara hati. Faktor-faktor itu telah membuat “Suara Hati” secara psikososiologis menjadi sangat kuat. Peran media pandang dengar kemudian menambah dahsyat efektivitasnya. Clip Music “Suara Hati” yang mengambil lokasi di IKJ itu, dari sisi penggarapannya juga bagus, membuat lagu itu memiliki kekuatan luar biasa.

PESAN MORAL

Sederet pertanyaan muncul: apa jadinya demokrasi tanpa hukum? Apa jadinya hukum tanpa moral? Apa jadinya moral tanpa nurani? Apa jadinya nurani tanpa suara hati?

Semasa Orde Baru, berbangsa lebih mudah. Karena jika mulai tampak gejala perpecahan bangsa, ABRI turun tangan melawannya. Kalau perlu menodongkan senjata ke pelipis. Berbangsa seperti itu mudah.

Tapi ketika acuan semua orang adalah demokrasi, ABRI sudah tak berfungsi, kecuali demokrasi itu sendiri. Masalahnya kemudian, cara-cara demokratis itu menjadi keliru tatkala kebebasan diterjemahkan secara serampangan, cuma berdasarkan aturan main, sedangkan nurani tak pernah diikutsertakan lagi. “Suara Hati” menjawab premis itu.

Jakarta, Sabtu, 02 Nopember 2002.

No comments:

Recent Post