Friday, March 7, 2008

Ikhwal Sebuah Istilah

Kamis, 6 Maret 2008 | 02:39 WIB

KH Abdurrahman Wahid

Dari segi bahasa, penggunaan kata ”ikhwal” dalam judul di atas jelas salah. Kata ini diambil dari bahasa Arab, yang aslinya berbunyi ahwal. Maksud dari kata itu, keadaan manusia yang senantiasa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Namun, untuk keperluan itu, kita sudah terbiasa menggunakan kata ”ikhwal” sehingga akan terasa sangat janggal menggunakan kata ahwal. Ini karena kebiasaan kita sekarang, kita tidak lagi janggal menggunakan kata itu dalam pergaulan sehari-hari. Dengan demikian, kalau kita gunakan kata ikhwal dalam judul di atas, hal itu jadi sama sekali tidak salah.

Maksud dari judul tersebut adalah kenyataan banyak istilah yang digunakan di negara kita. Istilah pendekatan keamanan (security approach) hingga sekarang sering dipakai walaupun dalam praktiknya pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) menganggap pendekatan itu semakin dipersempit sehingga praktis hanya digunakan untuk kepentingan keamanan belaka. Namun, dalam kenyataan, tanpa penggunaan istilah itu pun pendekatan keamanan tetap dipakai.

Contohnya dalam hal ini adalah istilah Bintang Kejora di tanah Papua. Sampai hari ini, pihak keamanan-pertahanan masih memandangnya dalam artian politis. Padahal, pandangan itu digunakan tanpa mengingat asal-usul historisnya. Istilah Bintang Kejora ini pernah digunakan oleh mereka yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Padahal, istilah OPM itu hanya digunakan sebagai alat tawar-menawar (bargaining position) belaka, yaitu agar ruang gerak kawan-kawan di sana lebih besar. Sama sekali bukan sebagai pernyataan politik untuk separatisme (lepas dari Indonesia). Ini semua terjadi karena kesalahan kita sendiri dalam menangani masalah tersebut dengan bijaksana dan mengutamakan kepentingan nasional. Tapi pembunuhan atas Theys Eluay dan sopirnya tetap tidak diperhitungkan sama sekali bahwa ini akibat arogansi pihak yang selalu merasa benar. Inilah tragedi yang harus kita jalani di tanah Papua hingga saat ini, yaitu penggunaan kekerasan tidak pada tempatnya.

Hal yang sama terjadi dengan Megawati Taufik Kiemas. Ia merasa bahwa keadaan memaksanya menderita, karena teman-teman pendukungnya dibawa ke pengadilan. Sedangkan orang-orang lain di luar pengikutnya dibiarkan saja melakukan hal yang sama, tanpa harus diperiksa oleh pengadilan. Istilah populer untuk menandai hal itu adalah pengadilan tebang pilih. Ia menamainya sebagai pembangunan ”poco-poco”. Digunakannya kata itu untuk menandai kenyataan bahwa pembangunan kita seperti penari poco-poco yang maju dua langkah, kemudian mundur pula dua langkah. Hal ini oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla ditanggapi bahwa pembangunan di masa Megawati Taufik Kiemas menjadi presiden disebutnya sebagai pembangunan dansa-dansi. Padahal, ia adalah pembangunan cakalele, yaitu berputar-putar di tempat.

Hal terpenting yang harus diingat adalah kenyataan bahwa pembangunan nasional di negeri kita tidak diarahkan pada orientasi yang benar. Bukannya diarahkan pada pemecahan masalah-masalah dasar yang kita hadapi sebagai bangsa dan negara, yaitu soal korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah. Yang terjadi hanyalah perebutan pembagian wewenang dan kekuasaan antara pihak eksekutif dan pihak-pihak lain. Herankah kita jika lalu terasa pembangunan kita ”berjalan di tempat?”

KH Abdurrahman Wahid Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB

(Sumber: Kompas)

No comments:

Recent Post