Thursday, March 27, 2008

Membongkar Hegemoni Beras

Oleh Wahyudi Djafar*


Beberapa hari ini media ramai dengan berita naiknya harga beras dunia dan harga kebutuhan pokok lain. Kenaikan harga minyak dunia yang melonjak tajam menjadi alasan pembenar sekaligus kambing hitam dari serangkaian kenaikan harga pangan tersebut.

Namun,meski fluktuasi ekonomi global memiliki pengaruh signifikan terhadap situasi ekonomi dalam negeri,sebagai imbas dari globalisasi, atau pengintegrasian ekonomi nasional dengan struktur global, kita juga tidak boleh menaifkan pengaruh dari dalam negeri. Pangan mempunyai nilai strategis dan vital untuk menggerakkan aktivitas pembangunan suatu negara, baik infrastruktur maupun suprastruktur.

Pangan tidak sekadar menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomi semata, akan tetapi telah menjadi suatu komoditas bernilai politis pula. Defisit neraca pangan dapat berakibat luas pada stabilitas sosial, ekonomi, dan politik,seperti halnya beras di Indonesia yang sejak lama telah menjadi komoditas politik penguasa.

Politisasi beras di Indonesia terjadi sejak masa penjajahan Belanda, ketika pemerintah kolonial berkepentingan mendapatkan tenaga buruh murah, untuk dipekerjakan di perkebunan untuk komoditas ekspor. Harga beras senantiasa ditekan serendah mungkin agar masyarakat bisa dengan mudah diserap tenaganya sebagai pekerja perkebunan.

Bahkan ketika terjadi krisis beras pada 1863, pemerintah kolonial berinisiatif menghapuskan bea masuk impor beras dengan tujuan menjaga ketersediaan tenaga buruh murah. Pada masa Jepang, intensifikasi pertanian beras mulai dilakukan dengan memperkenalkan varietas padi baru bagi petani Jawa.

Namun, intensifikasi pertanian beras itu hanya untuk memenuhi kebutuhan perang bala tentara Jepang. Pada masa awal kemerdekaan, selain diliputi semangat untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat,politisasi beras juga tak lepas dari kebijakan kekuasaan. Soekarno berusaha keras melakukan upaya pemenuhan pangan masyarakat. Langkah taktis yang dilakukan yaitu dengan cara memasukkan beras sebagai komponen gaji bulanan pegawai negeri dan tentara.

Tindakan ini diambil demi memproteksi kekuasaannya dengan mengambil hati para aparat negara. Ketika Soekarno runtuh dan digantikan pemerintahan Soeharto, persoalan pangan menjadi hal utama dan pertama.

Di awal berdirinya Orde Baru, kondisi pangan dalam negeri tengah mengalami keterpurukan mendalam,sebagai imbas dari gagal panen yang dialami petani akibat kemarau berkepanjangan, inflasi membubung tinggi,kelangkaan bahan pangan; pemerintah Soeharto terpaksa mengimpor beras hingga angka 9%.

Sebagai upaya jangka panjang, pemerintah mencanangkan program revolusi hijau yang merupakan desakan dari negara-negara maju. Revolusi Hijau menjadi jargon politik untuk melawan derap revolusi merah yang makin mewabah di negaranegara terbelakang.

Tujuan dari program ini adalah melipatgandakan produksi beras secara massif dengan mengandalkan asupan kimia dan biologi, selain prasyarat kelancaran irigasi dan kultur bercocok tanam tanpa harus mengubah bangunan sosial pedesaan. Untuk memajukan program ini, pemerintah melakukan pengawasan secara ketat terhadap pertanian rakyat.

Petani dipaksa untuk menggunakan cara-cara pertanian modern yang sarat dengan mekanisme kimiawi, dari mulai benih, pupuk, hingga obat tanaman semuanya harus dibeli dari perusahaan besar milik asing. Sumber daya dan unsur-unsur kearifan tani tradisional ditinggalkan.

Upaya penyeragaman pangan semakin diperkuat dengan keluarnya UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa yang kian mempersempit ruang aktualisasi masyarakat desa. Buah dari revolusi hijau memang dinikmati oleh bangsa Indonesia karena mampu menjadi negara yang berswasembada beras pada 1985,1986,1987,1988,1990.Soeharto memperoleh penghargaan dari FAO. Namun revolusi hijau harus dibayar mahal oleh pemerintah Orde Baru.

Program ini yang pada mulanya dianggap tidak akan mengubah struktur sosial secara radikal seperti halnya program land reform,justru kian membuat timpang struktur sosial di pedesaan. Petani pemilik lahan (farmer) menjadi sangat kaya raya, sementara petani penggarap (peasant) kian mengalami keterpurukan.

Diversifikasi pangan yang tak berjalan karena perhatian tersedot pada upaya pemajuan beras.Ditambah lemahnya struktur mikro di pedesaan, hal itu mengakibatkan Indonesia kembali menjadi negara net-importer pangan. Bahkan di akhir Soeharto berkuasa, pada 1998, tingkat impor beras Indonesia kembali pada angka 9%.

Serangkaian peristiwa sejarah yang pernah terjadi di Indonesia,memberikan pengetahuan betapa kuatnya politisasi beras di Indonesia. Ketika suatu rezim berkuasa sudah tidak lagi mampu menyediakan beras murah bagi massa rakyatnya, akan terancam pula eksistensi rezim tersebut. Hal ini dibuktikan dengan runtuhnya rezim Soekarno dan Soeharto.Beras mampu menjadi penggerak bangkitnya people power.

Karenanya,demi menurunkan tingkat politisasi beras, pangan harus segera didiversifikasi. Rezim SBYKalla yang mencanangkan program revitalisasi pertanian, bukan program swasembada beras seperti rezim-rezim sebelumnya, seharusnya menjadi tonggak bagi pemerintah memassifkan program diversifikasi pangan, tidak malah kembali terjebak dalam dominasi politisasi beras.(*)

*) Wahyudi Djafar
Peneliti pada Saqifa Institute For ECOSOC Rights Yogyakarta

Sumber: Koran Sindo Selasa, 25/03/2008

No comments:

Recent Post