Sunday, March 16, 2008

Nabi Muhammad dan Amar Makruf

* Oleh A Mustofa Bisri


DARI Alquran dan berbagai riwayat hadis, kita mendapat pemerian yang jelas tentang pribadi Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, Allah menyebut utusan terakhir-Nya itu sebagai alaa khuluqin azhiim (QS 68: 4), berada pada adab yang agung.

Adab yang agung, kata mufassir, adalah Alquran. Ini sesuai dengan pemerian sayyidatinaa Aisyah, istri terkasih Rasulullah sendiri, yang menyatakan bahwa akhlak beliau adalah Alquran (khuluquhul-Quran).

Agak lebih rinci, Alquran menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah rasuulun min anfusikum, aziizun alaihi maa anittum, hariishun alaikum, bil mu’miniina rauufun rahiim (QS 9: 128). ”Utusan Allah dari antara kalian sendiri yang tidak tahan oleh penderitaan kalian, yang penuh perhatian terhadap kalian, dan kepada orang-orang mukmin sangat mengasihi dan menyayangi.”
Terjemahan harfiah dari ‘aziizun ‘alaihi maa ‘annittum, seperti disebutkan dalam Alquran dan Terjemahannya versi Depag, adalah ” berat terasa olehnya penderitaanmu”. Saya terjemahkan bebas sebagai ”tidak tahan oleh penderitaan kalian”.

Maksudnya, salah satu sifat Rasulullah ialah tidak tegaan terhadap umatnya. Dengan kata lain, beliau sangat tidak ingin ada umatnya yang menderita. Beliau ikut pucat bila melihat orang yang kelaparan, dan ikut menangis kalau melihat orang yang kesusahan.

Penuh Perhatian
Itu pula sebabnya, wallahu a’lam bish-shawaab, Nabi Muhammad begitu semangat dan giat melakukan amar makruf (menyuruh berbuat kebaikan ) nahi munkar (mencegah perbuatan mungkar). Karena hanya dengan berbuat makruf dan meninggalkan kemungkaranlah, hamba Allah bisa selamat dari penderitaan, terutama di kehidupan abadi kelak.

Ini artinya, Nabi Muhammad memang penuh perhatian dan memiliki kecintaan serta kasih sayang yang mendalam terhadap umatnya (hariishun ‘alaikum, bil mu’miniina rauufun rahiim).

Bercermin pada amar-makruf dan nahi-munkar yang dicontohkan Rasulullah, kita menjadi tahu bahwa amar-makruf dan nahi-munkar yang sejati muncul dari hati yang mencinta dan menyayangi. Tidak mungkin timbul dari hati yang penuh kebencian.

Di samping itu, amar-makruf dan nahi-munkar juga mensyaratkan adanya pengetahuan yang bersangkutan tentang kemakrufan dan kemungkaran, serta amaliyahnya sendiri baik dan tidak mungkar. Tidak kalah penting, amar-makruf dan nahi munkar haruslah dilakukan secara makruf.

Amar-makruf dan nahi-munkar yang dilakukan Nabi Muhammad, yang kemudian menjadi budaya di kalangan masyarakat salaf yang saling mencintai dan menyayangi, terbukti telah berdampak positif dalam tatanan kehidupan di dunia ini. Padahal tujuan akhirnya ialah keselamatan dan kesejahteraan hidup di akhirat kelak.

Untuk bisa sedikit membayangkan seperti apa kira-kira amar-makruf dan nahi-munkar-nya Nabi Muhammad, marilah saya nukilkan satu ayat Alquran dan beberapa hadis sahih (riwayat Bukhari / Muslim) tentang perangai beliau.

Allah berfirman kepada Rasul-Nya SAW: ”Fabimaa rahmatin minaLlahi linta lahum” (QS 3: 159). Artinya, ”Maka sebab rahmat dari Allahlah engkau lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan berhati kejam, niscaya mereka akan lari menjauhimu.”

Guru yang Memudahkan
Menurutnya sahabatnya, Abdullah Ibn ‘Amr, Nabi Muhammad tidak kasar dan tidak bicara kotor. Beliau pernah bersabda, ”Sesungguhnya termasuk orang-orang terbaik kalianlah orang yang paling baik budi pekertinya”.
Menurut Aisyah, Rasulullah tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara, kecuali beliau akan memilih yang lebih mudah atau ringan, asalkan tidak merupakan dosa. Jika merupakan dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari padanya.

Nabi Muhammad tidak pernah marah dan membalas untuk dirinya sendiri. Kecuali apabila kehormatan Allah diinjak-injak, maka beliau akan marah dan membalasnya demi Allah.

Dari sahabat Jabir Ibn Abdillah, dalam sebuah hadis panjang, Rasulullah SAW antara lain bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai penekan yang memberatkan orang, tapi sebagai guru yang memudahkan”.

Nah, dalam rangka memeringati Maulid Nabi Muhammad (27 Rajab 1429 H; 20 Maret 2008), ada baiknya kita sejenak bercermin dan merenungkan apa yang sudah dicontohkan dan diajarkan beliau, utamanya yang berkaitan dengan kemaslahatan hidup bersama. Satu dan lain hal untuk menghidupkan kembali kehidupan guyub, saling mengingatkan dan saling meluruskan atas dasar kasih-sayang di antara kita. (32)

–– KH A Mustofa Bisri, budayawan, pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang.

sumber: suaramerdeka.com

No comments:

Recent Post