Thursday, March 13, 2008

Keberpihakan Pemerintah pada Peternak

Oleh : Joni Murti Mulyo Aji*

Asosiasi Pedagang Daging (APD) barangkali merasa lega karena salah satu tuntutannya menghilangkan monopoli perdagangan dan sapi impor dikabulkan pemerintah. Menyusul demo yang dilakukan oleh APD se-Jabodetabek beberapa hari lalu, Departemen Pertanian akhirnya memberikan lampu hijau pada dua perusahaan untuk mengimpor daging sapi dari Amerika Serikat ke Indonesia dalam waktu dekat.

Diperkirakan selambat-lambatnya April mendatang 4.000 ton daging asal AS sudah sampai di Tanah Air. Meski sudah saya perkirakan arah kebijakannya akan demikian, saya sempat sedikit kaget karena ini bertentangan dengan pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono yang disampaikan sehari sebelumnya.

Mentan menyatakan impor daging kita tahun lalu hanya sebesar 28 persen sehingga secara umum pasokan daging tidak akan terganggu karena masih tingginya daging lokal. Lantas, bagaimana nalarnya jika pasokan daging tidak terganggu, kemudian harus memaksakan diri mengimpor daging dari AS?

Kalau melihat kronologinya, kita akan paham mengapa akhirnya pemerintah memutuskan mengizinkan impor daging sapi dari AS. Sejatinya sejak pertengahan Desember tahun lalu sudah bergulir wacana mencabut larangan impor daging sapi dari AS. Alasannya, pelaku industri daging menganggap pembatasan impor membuat industri daging dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku sehingga mengalami penurunan kinerja.

Kekurangan bahan baku ini membuat industri daging olahan kalah bersaing dengan industri sejenis dari negara-negara tujuan ekspor. Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia (Aspidi) bahkan telah mengusulkan dicabutnya larangan impor dari AS jauh-jauh hari sebelum wacana itu bergulir di tingkat eksekutif. Terakhir, awal Januari lalu pemerintah kembali menegaskan untuk mencabut larangan impor daging sapi dari Amerika Serikat.

Meski demikian, peternak dan penggiat peternakan terang-terangan menolak rencana tersebut. Mereka khawatir, impor dari AS akan berdampak pada turunnya harga daging sapi dan menyebabkan hancurnya peternakan dalam negeri. Dikhawatirkan akan menimbulkan ketergantungan terhadap impor dalam jangka panjang.

Setelah sempat tenggelam beberapa saat, isu pencabutan larangan impor sapi dari AS kembali mencuat setelah demo yang dilakukan APD menuntut. Mereka mendesak pemerintah menghilangkan monopoli perdagangan serta daging impor.

Jika ditilik dari rentetan peristiwanya, tidak salah bila ada yang mengaitkan demo tersebut dengan rencana pemerintah. Tak mengherankan akhirnya larangan impor sapi dari AS benar-benar dicabut.

Tak ada keberpihakan
Realisasi pencabutan larangan impor daging sapi dari AS benar-benar menggambarkan betapa pemerintah tidak berpihak kepada peternak. Kekhawatiran peternak bahwa impor daging dari AS akan berdampak buruk bagi usaha mereka bukan tanpa alasan.

Dengan struktur industri peternakan yang didominasi oleh peternak skala kecil, tentu sangatlah berat bagi peternak kita bersaing dengan peternak AS yang umumnya berskala besar. Apalagi, kebanyakan negara maju akan melakukan segala upaya untuk penetrasi pasar ekspor.

Sering untuk meningkatkan daya saing atau membuat produk lebih murah, mereka tak segan-segan memberikan subsidi terhadap industri yang dinilai memiliki potensi ekspor. Inilah yang menyebabkan industri pertanian (termasuk peternakan) di negara sedang berkembang sulit bersaing dengan negara maju.

Selain itu, untuk menjamin kelangsungan suatu industri pertanian, kebijakan impor seharusnya juga seiring dengan kebijakan karantina. Pemerintah sepertinya sudah lupa kejadian tahun 2004 ketika 141 kontainer importasi hewan dan produk turunannya disita oleh Bea dan Cukai, 48 delapan di antaranya berasal dari AS.

Pemerintah menolak impor daging dari AS menyusul ditemukannya satu kasus penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encehalopathyl/BSE) di Amerika Serikat pada Desember 2003. Pemerintah juga seakan tak ingat betapa wabah sapi gila di Inggris awal 1990-an yang meluluhlantakkan industri peternakan di Inggris tersebut.

Seharusnya pemerintah sadar akan risiko dan kerugian yang harus ditanggung jika wabah itu benar-benar terjadi di Indonesia. Seperti flu burung, penyakit sapi gila merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena dapat ditularkan pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini bisa mengakibatkan kerusakan otak dan tulang belakang pada sapi.

Pada manusia varian dari penyakit ini disebut sebagai Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD). Secara keseluruhan sampai saat ini sudah ditemukan tiga kasus BSE dan tiga kasus vCJD di AS. Jangan sampai untuk mendapatkan harga yang lebih murah, kepentingan peternakan domestik jangka panjang yang jauh lebih penting harus dikorbankan.

Saya heran mengapa pengalaman kasus flu burung juga tak juga menyadarkan pemerintah akan bahaya wabah penyakit pada ternak. Bukankah pemerintah telah mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk pemusnahan unggas dan penanganan penderita (maupun suspect) flu burung?

Belum lagi derita yang dirasakan oleh peternak yang usahanya harus pupus karena serangan virus mematikan tersebut. Juga kesedihan keluarga korban yang harus kehilangan sanak saudaranya karena keganasan virus tersebut.

Soal impor, pemerintah seharusnya juga mengambil pelajaran dari kasus kedelai. Jangan sampai kita terjebak pada lingkaran setan yang bernama 'ketergantungan impor'.

Kedaulatan pangan harus tetap dikedepankan. Memperbesar kran impor pada kasus sapi sama saja dengan memelihara anak singa yang setiap saat bisa menimbulkan bahaya bagi diri kita sendiri. Dengan total produksi sapi domestik lebih dari 70 persen, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menggairahkan kembali industri peternakan sapi di Indonesia yang sempat terpuruk akibat hantaman krisis.

Sesungguhnya, masalah pokok yang dihadapi oleh industri peternakan di Indonesia adalah rendahnya produktivitas pembibitan dan tidak tersedianya cukup pakan di beberapa daerah tertentu. Maka langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah meningkatkan produktivitas pembibitan dan ekstensifikasi peternakan di berbagai daerah potensial, terutama di kawasan timur Indonesia.

Dengan ketersediaan lahan yang masih cukup luas serta pakan yang menjanjikan, kawasan timur Indonesia, utamanya Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Papua), bisa menjadi substitusi Jawa yang produksi ternaknya semakin menurun. Kita tunggu saja apakah masih ada komitmen pemerintah untuk memajukan peternakan nasional.

* dimuat di Republika 10 Maret 2008

No comments:

Recent Post